Minggu, 14 November 2010

KU TULISKAN

Selantunan adzan subuh.
Mengalun indah dengan nada yang sangat harmoni.

Sebait lagu Tuhan di hari Minggu
Menghantar bait yang tiada lekang oleh kesedihan

Senyaring suara genta disaat sang Hyang Surya menapakkan sinarnya
Menghantar segala isi alam menuju pada bait kehidupan.

Sejalan dengan Takdir sebuah gong akan ke esa an diperdengarkan
Gong Bodhidharma di lantunkan oleh jiwa dengan harmoni raga.


Hai ragaku apa khabarmu hari ini ?
Ku harap kau baik-baik saja, dan tampaknya kau sangat bergizi hari ini.
Kulihat betapa bersihnya kulitmu, sangat terawat kuku-kuku mu bahkan kuku jari kakimu pun terlihat sangat bersinar.
Heeyy, ada yang baru kulihat dari gaya rambutmu, tampaknya kau memberikan sentuhan dengan cat rambut berwarna-warni.
sungguh indah bibir yang terawat, kau poles pula dengan pelembab, sangat sempurna.
Semua anggota tubuhmu kau rawat dengan sangat teliti kau jadikan alat untuk Ku untuk melangkah kemana saharusnya aku.
Kau berikan kemanjaan pada ragaku karena kau tahu jika aku ada di dalam raga ini.

Oh, aku hampir melupakan sesuatu padamu....
ingatkah kau waktu kita masih di dalam kantong rahim, kita selalu bercerita,
kita selalu merencanakan sesuatu yang hebat, ingatkah jika kita selalu ingin bersama ?
ingin mengarungi kehidupan ini dengan ku, -ia- menyatu dengan ku... menjadi satu aku dan kamu ... JIWA DAN RAGA...

Ku tuliskan ini pada mu melalui jari-jarimu dan ku ijinkan matamu melihatnya sehingga kaupun akan berucap di bibirmu jika kita satu, -ia- kita satu... DAN PIKIRAN TOLONG DONG KATAKAN JIKA KITA SATU.....



By. Tj. Heart.

JANGAN DIBACA !!!



Belum terlampat untuk clic tombol kembali, karena catatan tidak untuk dibaca.
Jika sampai juga meneruskan membaca jangan salahkan tj, karena catatan ini hanya sepenggal dari sebuah guratan hati.

Tinggal di Indonesia, sudah dirasakan dari 32 tahun, hampir menduduki peringkat kata manuli (manusia umur lingsir). Jika melihat kebelakang yang namanya Ormas paling banter jaman saya seputar politik dan ujung-ujungnya uang. Tapi saat ini ORMAS sudah memakai bendera Agama, lambang kitab suci, berkiblat pada tugu Rasa yang masih Saru. Front Pembela Itik yang menggumpal dihati. Mengapa ada yang membela Itik? Mengapa tidak front pembela Perawan paling tidak pembela kelaminnya wanita. Dengan argument pada kiblat, membuat seruan baru dimata publik, membina manusia pada ahlak yang sesuai dengan syariat, sesuai dengan kaidah. Isi didalmnya hanya bajingan berjenggot kambing, bajingan yang tobit, bukan tobat, merusak fasilitas umum, mengumandangkan nama Tuhan pada tiap pukulan pada tiap hantaman, meneriakkan yel-yel arab dan menggunakan suku bahasa yang bisa bikin lidah ente kelu dan kaku, karena itu bukan bahasa ane!

Teriakannya hanya membuat masyaraat pencinta kedamaian mengkeret, menuliskan pada headline hanya berita secukupnya, mainnya keroyokan padahal hatinya penuh kesunyian penuh gatal dan biang keringat. Main sikut masuk ke dalam sistem pemerintahan, menempatkan orang2nya dijajaran kabinet sampai jajaran preman jalanan.

Ormas yang tidak akan pernah layu karena selalu dirayu oleh setan penghisap darah perawan, setan demit dan jin yang mendiami pabrik susu dan pabrik tempe, menberikan jatah sperma untuk dihisap sebagai alur kebangkitan Ormas, sebagai sarana dan prasaranyanya tidak cukup sayur bening atau lodeh namun paha bening dan juga kacang cinapun diterima. Mobilisasi bergerak tajam karena inilah preman masa kini preman bertasbih dengan julukan CowBoy Soleh membangun kumpulan,membela rumah-rumah Tuhan yang dilayani oleh para wanita lanjut usia yang hipersex....
ohhh gusti, tidakkah ada kesempatan bagi hamba untuk melukiskan lebih banyak lagi tentang FPI!!? Dan jika ditanya dia si ekor putih berkokok panjang, jika pemerintah tidak mampu maka kami akan mengambil alih, wah kata kudeta seperti ini ternyata sah dinegeri Indonesia Raya, sah di jembatan yang dibangun dengan peluh dan keringat leluhur. Dan yang mengherankan kenapa ente tidak pukulin tuch para ustadz yang bajingan dan berlagak soleh tapi belum disunat bathinnya, sunat hanya lahirnya, sunatmu belum sah!

Anak-anak bangsa yang masih perjaka dan perawan saya sayangkan jika perjakamu hanya sebagai hiasan tangan namun belum sempat mengerti arti besarnya para perjaka2 yang telah gugur membela tanah air demi kebebasan beragama! Dan engkau perawan, sangat hinalah kamu jika kau serahkan selaput darahmu hanya untuk kepuasan cowboy soleh dan juga pria berkuncir hanya demi sebuah lingkaran tasbih yang diberi kondom, diberi pengaman agar terlihat masih suci tapi telah lama tidak pernah dicuci dan diganti, hanya akan meberikan bangsa ini perawan-perawan yang berpenyakit multisexual, lihat dan rasakanlah lagu selendang biru, lagu kopral jono, dimana seorang perawan merindukan dan menyerahkan bibir vaginanya untuk seorang pembela tanah air.

Perjaka dan perawanku Tundukkanlah dirimu, ambillah cermin dan mulailah bercermin dari selangkangan. Untuk melihat jika dari dirimulah akan menjadi tunas FPI atau tidak!!!
Pilihan ada di tangan MU!

FPI, (Front Pembela Itik)

INDONESIA YANG BERCERMIN PADA “BHAGAWAD GITA” (DIALEKTIKA SPIRITUAL)

Kita semua memuja Tuhan yang sama. Perbedaan konsepsi dan pendekatan ditentukan oleh warna lokal dan adaptasi sosial. Semua manifestasi terarah pada Yang Ilahi yang sama. “ Wisnu adalah Siwa dan Siwa adalah Wisnu dan siapapun yang menganggap keduanya berbeda akan terjerumus dalam dialektika personal. Dia yang disebut Wsnu adalah Rudra dan Dia yang adalah Rudra adalah Brahma. Satu entitas berfungsi sebagai tiga dewa, yaitu Rudra, Wisnu, Brahma.
“ Yang dipuja pengikut Dewa Siwa sebagai Siwa, para pengikut Dewa Brahma sebagai Brahma, para pengikut Budha sebagai Budha, Naiyyayikas yang mengkhususkan diri pada kanon pengetahuan sebagai agen utama, para pengikut kitab Jaina sebagai kebebasan tertinggi, para ritualis sebagai prinsip hukum, semoga Yang Agung Hari, Tuhan penguasa ketiga alam, mengabulkan doa kita; (Udayanacarya).
 
Andai ia menulis pada zaman ini, ia pasti menambahkan “ yang dipuja Umat Kristen sebagai Kristus dan umat Islam sebagai Allah.“ Tuhan adalah pemberi rahmat semua orang yang bertekun mencari-Nya, apapun pandangan tentang Tuhan mereka. Mereka yang secara spiritual kurang matang takakan mau mengakui Tuhan selain Tuhan mereka sendiri. Kelekatan mereka pada pernyataan iman (credo) membutakan mereka pada keutuhan Tuhan yang lebih luas. Ini adalah egoisme di ranah agama.

Dialektika Spiritual dengan Jalan Pengetahuan (Jnana Yoga)
(Bhagawad Gita Bab 4; Jalan Pengetahuan) 

 

Sribbhavan Uvaca
(1) Imam vivasvate yogam
Proktavam aham avyayam
Vivasvam manave praha
Manur iksvakave ‘bravit

Sri Begawan Berkata :
Yoga yang abadi ini Ku sabdakan kepada Wiwaswan.
Wiwaswan mendedahkannya kepada Manu dan Manu menyampaikan kepada Ikswaku.



(2) Evam paramparapraptam
Imam rajarsayo viduh
Sa kalene ‘ha mahata
Yoga nastah paramtapa

Dengan demikian diteruskan turun temurun kepada para resi istana sampai dalam rentang waktu yang sangat panjang hilang lenyap di dunia ini.

Yang dikatakan sebagai Rajarsayah ini adalah para resi istana, Rama, Krisna, dan Budha adalah para pangeran yang mengajarkan kebijaksanaan tertinggi ini. Dalam rentang waktu yang sangat panjang. Dalam perjalanan waktu, ajaran kebenaran ini akan memudar. Para guru besar lahir ke dunia untuk memperbaharui iman demi kesejahteraan umat manusia.

Sebuah tradisi yang dikatakan otentik jika membangkitkan tangapan yang memadai pada realitas yang direpresentasi. Dikatakan valid jika menggairahkan dan menggetarkan pikiran. Ketika tradisi gagal menjcapai tujuan-tujuan itu, para guru akan bermunculan untuk menghidupkannya kembali.
Para guru yang bermunculan pada zaman inipun sudah semestinya di kelompokkan menjadi tiga bagian dimana ada guru yang terpengaruh atas sebuah dialektika tanpa pernah memperaktekkan segala kajian yang diperoleh atas keadaan pribadinya, dapat dikatakan masih terpengaruh oleh (Rajas-Tamas) dan hal ini dikatakan beliau merupakan seorang guru yang Wacika. Guru yang berpedoman pada alur pikir dan konseptual tanpa memandang tinggi dan rendah daripada kemampuan muridnya dan memakai ukuran pada dirinya sendiri ini pun masih dikatagorikan sebagai Guru Manahcika, sedangkan guru yang sudah melaksanakan segala kemampuan dalam dirinya dan hanya berdiam disaat krisis seperti sekarang ini, serta mencari keamanan hanya untuk diri sendiri tanpa mau memngerti urusan lain termasuk dalam guru kayika.
Guru yang dimaksud dalam Rajasayah adalah guru yang telah “mengetahui” dan menyaksikan langsung atas apa yang dijadikan dealektika dalam kehidupan. Itulah yang dikatakan sebagai “Upanisad.”


(3) Sa eva ‘yam maya te ‘dya
Yogah praktah puratanah
Bhaktre ‘si me sakha ce ‘ti
Rahasyam hy etad uttamam

Sekarang, yoga pengetahuan kuno yang sama. Kudedahkan kepadamu, karena engkau adalah pengikut dan sahabatku, dan inilah rahasia yang utama.

Yogah Puratanah : Yoga kuno. Sang guru mengatakan bahwa ajaran yang ia dedahkan tidaklah baru. Ia hanya menyatakan kembali ajaran kuno, kebenaran abadai, yang diturunkan para guru kepada muridnya. Ajaran ini adalah pembaharuan, penemuan kembali, pemulihan kembali pengetahuan kuno yang telah lama terlupakan. Semua guru besar, seperti Buddha Gautama dan Mahawira, Sri Radhakrisna, dengan tegas mengatakan bahwa mereka hanya mengajarkan kembali ajaran guru-guru mereka.
Milindapanha menjelaskan bahwa Buddha hanyalah membuka kembali jalan kuno yang telah lama terlupakan. Ketika Buddha kembali kepada ayahnya di ibu kota kerajaan dengan pakaian pengemis dengan mangkuk pengemis, ayahnya bertanya “ ada apa ini sebenarnya ? “ Dan jawaban Buddha; “ayahda, ini adalah adat kebiasaan bangsaku.” Terkejut dengan jawaban itu sang ayah bertanya, “ Bangsa apa ?” dan jawab Buddha :
“ Para buddha yang telah ada dan akan selalu ada; demikianlah aku dan yang mereka dulu lakukan, sekarang aku lakukan, semua ini, yang sekarang ada di hadapan ayahanda, telah ada sejak dulu. Sehingga di depan pintu gerbang istana, sang raja dengan pakaian kebesarannya. Harus menemui putranya, sang pangeran mengenakan pakaian mempercayainya.“
 
Para guru agung tidak akan mendaku diri sebagai sang pertama, tapi mengatakan bahwa mereka mendedahkan kembali kebenaran kuno- yang adalah kebenaran utama, kebenaran yang digunakan untuk menilai semua ajara, sumber kebenaran abadi semua agama dan filsafat., filsafat abadi, sanatana dharma.Inilah yang disebut sebagai ”kebijaksanaan yang tidak pernah diciptakan, tapi ada sekarang, seperti dahulu dan selama-lamanya; (Agustinus).”
 
Bhaktre ‘si me sakha ce ‘ti; engkaulah pengikut dan sahabat-KU. Pewahyuan tak pernah berhenti. Selama hati manusia menunjukkan bhakti dan persahabatan, Tuhan akan menunjukkan rahasia-rahasia-Nya. Sejauh hati kita jujur dan merindukan kehadiran-Nya pewartaan diri Yang Illahi akan selalu mungkin. Pewahyuan yang illahi tak pernah menjadi peristiwa masa lalu; pewahyuan ini akan selalu terjadi. Pewahyuan ini tidak hanya milik segelintir manusia, tapi seluruh umat manusia. “ semua orang yang mencintai kebenaran mendengarkan suara-Ku,” katanya Yesus kepada Pilatus.
 
Dari apa yang telah dipaparkan dalam bait Bhagawad Gita, esensi yang didapatkan menjadikan kita sadar jika langkah yang telah di tetapkan seorang Founder Bangsa yaitu Bung Karno, sangat mendasari semangatnya dalam menemukan dasar atas Faham yang tercantum dalam Pancasila.
 
Panca Sila, dimasukkan suatu Power Religius yang tidak akan pernah terputus, tidak akan pernah terlapukkan oleh perkembangan jaman. Dalam setiap Sila diajarkan pada bangsa yang telah tertanam etika rteligius, bangsa yang telah didasari oleh pondasi agamais bahwa Tuhan satu adanya dan semua telah dijarkan secara turun temurun oleh para Guru-guru yang telah menyaksikan kebenaran, yang telah menerima Smerti atau wahyu.
Filsafat Pancasila dari Bung Karno berdasar Emansi; berkali-kali beliau berkata dan menulis dengan tidak bosan-bosannya, akan pendapat seorang yunani bernama Heraclitos: pantarei ; semua mengalir. Kata-kata ini tepat sama dengan yang diucapkan oleh nenek moyang bangsa Indonesia, Pangeran Siddarta Gautama ANITYATA; semuanya mengalir, tiada yang berhenti. Heraclitos dan Eyang Siddarta adalah kontemporer, diperkirakan 500 th SM.
 
Dasar seorang Eyang Siddarta pun merupakan cermin dari apa yang diajarkan oleh seorang penulis Bhagawad Gita. Mpu Bagawan Biasa atau Wyasa mengalirkan aliran sungai spiritual dengan konsep yang sangat jelas, yang mampu membentengi sebuah bangsa, membentengi seluruh kehidupan Negara, dengan jelas di ajarkan jika seluruh manusia menjadi insan spiritual dengan jalan berkarya dengan dasar kemapuan diri dan inilah yang dilihat oleh Bung Karno,dalam pidatonya “Indonesia baru sampai di gerbang kemerdekaan.” Indonesia yang di landasi dengan cara berpikir dan berkarya demi keutuhan Negara Republik Indonesia yang dengan berbagai macam keragaman. Bukanlah satu Negara yang dengan cara berpikir agamais yang akan memecah belah kehidupan berbangsa dan bernegara.
 
Sekali lagi dibahas, arti kata Rajarsayah, para manusia utama yang mengajarkan asas kebajikan, asas ketakwaan dan menghasilkan kebijaksanaan tertinggi. Bukanlah tidak mungkin jika seluruh insan manusia menjadi seorang Rajarsayah, segala yang dilahirkan terikat oleh dosa, terikat oleh suba- asubha karma yang kuat, inilah yang dilihat oleh Bung karno dilihat dengan menambahkan garis tebal jika Bangsa Ini adalah Bangsa yang memiliki semangat membangun, semangat yang tidak akan pernah putus semangat yang dimiliki manusia utama, seorang Rajarsayah. Segala laku karma yang telah dilakukan pendahulu bangsa tidak lah diam semua berputar dalam subha-asubha karma, berputar dan memiliki kekuatan utuh, setiap bentangan tangan para pendahulu Bangsa akan dikuti pula oleh generasi berikutnya, generasi yang di tumpui tanggung jawab atas nama personal untuk membentuk diri dan membuka seluruh hati untuk dapat menerima seluruh kepingan jiwa seorang Rajarsayah.
 
Teori Satrio Piningit Sebagai Suara Pengharapan Rakyat

Bangsa Indonesia sangat kental dengan berbagai pandangan yang asimilasikan dengan budaya daerah setempat, berbagai cerita folkplor sampai dengan suatu fenomena personal mengahasilkan suara yang telah lama dipendam setiap personal dan membudaya, menghasilkan sugesti pada alam pengharapan, inilah yang ditembus dalam berbagai dialek spiritual menjadi pengharapan bentuk wujud atau ragawi. Perwujudan yang dapat diartikan sebuah momen dimana alam diyakini melahirkan seorang penyelamat, menghasilkan jiwa baru yang mampu mendobrak segala bentuk lama yang telah berlaku dikalangan masyarakat, dan menanamkan suatu laku yang dalam konteks positif behavior guna menjadi tuntunan baru dalam melangkah, inilah yang sering dikenal dengan sebutan titisan atau Satrio Piningit.
 
Bhagawad Gita dalam konteks Teori Titisan, adalah sebagai berikut :




Sribhagawan uvaca
(5) Bahumi me vyatitani
Janmani tava ca’rjuna
Tani aham veda savani
Ne twam vetta paramtapa

Sri Begawan berkata :
Aku telah menjalani sekian banyak kehidupan pada masa lalu, demikian juga engkau, O Arjuna; kesemuanya aku ketahui, tapi tidak demikian dengan engkau, O Ksatria yang ditakuti para musuh (Arjuna)


(6) Ajo ‘pi sann avyayatma
Bhutanam isvaro ‘pi san
Prakrtim svam adhisthaya
Sambhavamy atmamayaya

Meskipun (Aku) tak dilahirkan, dan diri-Ku tak bisa musnah, meskipun Aku adalah Tuhan segala mahluk, tapi Aku dengan segala sifat-Ku, aku membuat diriku telahir menjadi manusia dengan kuasa-Ku

Terlahir menjadi manusia tidak bersifat sukarela. Melalui kuasa prakrti, karena kebodohan atau ketidaksadaran, manusia terlahir dan terlahir kembali. Tuhan menguasai prakrti dan memilih terlahir kedunia dengan kuasa kehendak bebas-Nya sendiri. Kelahiran kembali ke dunia ditentukan oleh kuasa prakrti . avasam praktrer vasat, sementara Tuhan lahir kedunia melalui kuasa-Nya sendiri, Atmamaya.
Prakrtim adhisthaya; mencipta dengan kuasa-ku sendiri. Dia menggunakan kuasa-Nya tanpa mesti tunduk pada hukum karma. Dalam hal ini, tidak ada sama sekali kehendak menjadi manusia sekedar sebagai penampakan. Kelahiran sebagai manusia ini sungguh-sungguh realitas. Proses menjadi manusia ini merupakan proses aktual dengan kuasa-Nya, “ kemampuan mengubah yang tidak mungkin menjadi mungkin.”
Ini menunjukkan sebagai suatu eksitensi Tuhan yang maha sempurna yang mewujud menjadi manusia biasa dengan menjelma menjadi manusia yang rendah. Tuhan yang Maha Kuasa menjadi manusia yang lemah merupakan misteri alam semesta. Dari sudut pandang logis, semua ini adalah maya.
Rakyat Bangsa Indonesia yang dinyatakan telah berkembang dari masa ke masa selalu mengalami evolusi religius, walaupun itu sebatas dialektika semu, dan dipertegas kembali dan menjadikan patokan para penekun spiritual untuk kembali mencari jadi diri, dimana Tuhan pun akan kembali menurunkan diri-Nya dalam level yang sangat tidak mungkin dilakukan.
 
Teori titisan telah lama menjadi momok personal dalam dialektika spiritual, karena dalam suatu koridor agama yang mengklaim Tuhan merupakan satu yang absolut tiada yang lain, dimana Tuhan telah menurunkan wahyu kepada manusia, dan wahyu tersebut dipahami sempurna transenden. Tuhan dipisahkan dari manusia melalui jarak yang sungguh tidak dapat diukur. Inilah suatu dialektika yang tidak dapat dimengerti oleh masyarakat secara personal untuk menjawab kapan akan munculnya satrio piningit sebagai titisan. Karena teori ini akan terpotong dalam koridor manusia yang sebagai personal diri dengan Tuhan yang Maha Kuasa. Posisi manusia mengambil jarak teraman dalam memahami Tuhan adalah dengan menundukkan diri serendah-rendahnya, memposisikan diri sebagai hamba. Tanpa mengambil suatu dialektika lain selain memberikan diri dihampiri oleh Tuhan dan Tuhan menyapa manusia sebagai umatnya yang taat dan takwa.
 
Jelas personal mistis akan mengalami tembok pemisah antara hasil nurani dengan kajian relegius, hal ini lah yang disebutkan oleh sebagai manusia sebagai pengharapan pada suatu berhala, padahal sosok satrio piningit sangat menjiwai dan sebagai spirit masyarakat Indonesia dalam meraih suatu kemerdekaan, karena budaya pederitaan yang lama dialami menekan masyarakat spiritual untuk percayaan adanya seorang pembaharuan yang disebut sebagai titisan atau satrio piningit.



(7) Yada-yada hi dharmasya
Glanir bhavati bharata
Abbyatthanam adharmasya
Tada ‘tmanam srjamy aham

Ketika kebenaran mulai sirna dan kejahatan merajalela,
O Bharata (Arjuna), Aku akan mengutus diri-Ku sendiri (berinkarnasi)

“Ketika kebenaran memudar; dan kejahatan meningkat Tuhan yang Maha Kuasa, menciptakan diri-Nya sendiri.” Ketika terjadi ketegangan yang serius dalam kehidupan, ketika sebentuk materialisme yang merangsuk ke segala relung hati manusia, kehadiran, manifestasi kebijaksanaan dan kebenaran menjadi mendasar untuk menjaga keseimbangan. Yang Maha Tinggi, meskipun tak dilahirkan dan tak bisa mati, menjelma menjadi manusia untuk menghalau kebodohan dan sikap mementingkan diri sendiri.
 
Avatar berarti titisan, keilahian yang menitis. Yang Illahi turun kedunia untuk mengangkat manusia ke status yang lebih tinggi. Tuhan turun kedunia ketika manusia mencapai status yang lebih tinggi. Tujuan avatar adalah menata dunia baru, dharma baru. Dengan ajaran dan keteladanannya, ia menunjukkan bagaimana manusia bisa mencapai tingkatan kehidupan yang lebih tinggi. Masalah benar dan salah merupakan persoalan yang sangat penting. Tuhan berkarya di sisi kebenaran. Dharma akan mengalahkan adharma, kebenaran akan mengalahkan kebohongan; kuasa dibalik kematian, penyakit dan dosa akan dihancurkan oleh realitas –Ada-Budi-Kebahagiaan-

Secara literal, ­dharma berarti cara hidup. Dharma adalah sifat mengada mendasar yang menetukan cara bertindak. Sejauh tindak-tanduk kita selaras dengan sifat mengada yang mendasar itu, kita menjalani hidup yang benar. Adharma bersifat tidak selaras dengan sifat dasar kita. Jika keseimbangan antara dunia ini berdasarkan keselarasan semua mahluk dengan sifat dasar mereka, ketidakseimbangan dunia disebabkan karena ketidakselarasan semua mahluk dengan sifat dasar mereka. Tuhan tidak tinggal diam ketika kita menyalahgunakan kebebasan dan menyebabkan ketidakseimbangan. Dia tak hanya akan membawa kedalam tangan-Nya, mengembalikannya ke jalur yang benar, dan membiarkannya kembali berjalan sendiri. Tangan-Nya yang penuh kasih akan selalu membimbingnya.
 
Konsep dharma sangat jelas sebagai penuntun, penuntun terhadap cara hidup, kembali kita diingatkan oleh Begawan wiyasa jika dharma tiap individu yang beragam hanya dapat dinilai dari kesucian dari pada apa yang dilakukan-diucapkan-dipikirkan dan sebatas mana disebut sebagai suatu tindakan yang suci ? apa yang kita gunakan untuk tolak ukur, jelas yang dipesankan disini gunakan Tuhan sebagai stick yard sebagai Tolak ukur.