Sabtu, 22 Oktober 2011

PELAYANAN TAK DI MULAI DI RUMAH

Karena, apa yang kita lakukan untuk keluarga kita, rumah kita – tak bisa disebut pelayanan. Ini adalah kewajiban kita, tanggungjawab kita. Dan, sehingga, pelayanan tak di mulai di rumah. Pelayanan harus di mulai di luar rumah kita. Pelayanan lahir dari rasa welas asih pada mereka yang jauh dari kita, yang merupakan orang asing, yang tak kita kenal secara personal….Tapi, yang sedang menderita, yang tengah membutuhkan pelayanan kita.’ 

Dengan melayani keluarga kita sendiri, kita tak membuktikan apapun. Kita justru mengingkari ikatan yang kita ciptakan sendiri. Apa yang kulakukan untuk mereka adalah bagian dari tugas keluarga – tak lebih dari itu. Dan, akan tiba saatnya kewajiban semacam itu berakhir. Misalnya saat kamu tak harus lagi membiayai kehidupan anak-anakmu.

Kewajiban pasti berakhir, Pelayanan tak bernah berakhir.

Pelayanan adalah sejenis Persembahan Kasih yang dilakukan tanpa beban apapun. Saat kamu tak harus melakukan sesuatu, tapi kamu tetap memilih melakukannya – maka, kamu menjadi Pelayan.
Sebuah sistem kepercayaan yang memaksamu melakukan pelayanan, sejatinya justru kehilangan rasa pelayanan itu sendiri. Sesungguhnya tak ada satu sistempun yang bisa melahirkan hati yang penuh pelayanan. Pemilik hati yang penuh kasih tak butuh iming-iming untuk melakukan tindak pelayanan. Ia tak butuh kapling di surga yang nyaman setelah kematian. Ia tak butuh motivasi apapun, segala motif luaran, untuk melakukan pelayanan.

Jika kamu merasa iba pada penderitaan rakyat Lebanon hanya karena mereka pemeluk agama yang sama denganmu – maka kamu tak layak disebut pelayan. Kamu harus merasakan bahwa penderitaan mereka karena memang mereka sungguh menderita. Dan, ini sangat tidak manusiawi membuat orang lain menderita. Di balik penderitaan rakyat Lebanon, bukan hanya Israel yang bersalah. Kelompok Hisbullah juga sama salahnya. Mereka seperti negara dalam negara. Dan, oleh karena itulah, Negara Lebanon bersalah pula. Bagaimana bisa mereka membiarkan tumor ganas organisasi militan semacam itu eksis di tubuh negara mereka?

Jika kamu mendukung agresi Israel hanya kerena kamu terlahir sebagai seorang Yahudi, maka kamu menjadi agresif pula. Lantas, kamu juga bersalah karena tindak kriminal dan kekerasan semacam ini. Apakah kamu tak pernah berfikir bahwa kamu bukanlah pelayan dengan mendukung agresi semacam itu?

Pelayanan tak bisa dilakukan dengan hanya mendukung sebuah ideoloi saja.

Pelayanan harus dilakukan untuk mendukung nilai-nilai universal.

Pelayanan macam apa yang terkandung dalam sebuah agresi?

Seorang pengacara atau tim pengacara yang membela teroris juga tak layak disebut pelayan, walau mereka mengkalim demikian. Mereka mengkalim bahwa mereka tak mendapat bayaran dari para teroris tersebut. Itu membuat mereka tak lebih baik dari para teroris itu sendiri. Mereka berjuang untuk sebuah ideologi kekerasan, sebuah ideologi yang tak bisa disebut pelayanan. Kebajikan macam apa yang dilakukan dengan membunuh orang-orang yang tak bersalah, mengebom area publik dan merusak citra negara sendiri?
Sebuah kebajikan selalu membawa kebahagiaan bagi banyak orang, bagi sebanyak mungkin orang, ya sebanyak mungkin. Dan, orang yang penuh pelayanan ialah ia yang terlibat dalam hal semacam ini.
Orang yang penuh pelayanan, seseorang yang hatinya penuh kasih, tak bisa dibatasi dengan empat tembok dalam rumahnya sendiri. Orang semacam ini selalu mencoba keluar dari dalam rumahnya, untuk membebaskan dirinya dari segala kewajiban, sehingga mereka bisa melayani semua.
Dengan mengatakan ini, tentu saja aku tak bermaksud bahwa mereka harus melarikan diri dari tanggungjawab. Tidak. Justru mereka bekerja super keras untuk memenuhi segala kebutuhan mereka, menyelesaikan tanggungjawab atas keluarganya – sehingga dapat melakukan hal lain. Sehingga mereka dapat bergerak dan bertindak demi nilai-nilai yang lebih tinggi.
Donasi, cara ini, adalah hanya satu aspek dari pelayanan. Ini sama sekali bukan aspek satu-satunya. Dalam realitasnya kamu tak dapat mendonasikan apapun tanpa rasa pelayanan. Saat kamu mendonasikan secara tak ikhlas, kamu tak bisa di sebut pelayan. Ini juga tak bisa di sebut pelayanan saat kamu membagi unag supaya mendukung partai tertentu yang memiliki agenda terselubung dalam pemilu. Setiap donasi yang diberikan, setiap tindakan pelayanan yang dilakukan, segala sesuatu yang dilaksanakan dengan ekspetasi tertentu – tak bisa disebut sebagai pelayanan.
Pelayanan dilakukan tanpa mempedulikan hasil.
Pelayanan dilakukan semata karena kamu penuh kasih. Ini adalah bagian dari fitrahmu. Segala sesuatu yang tak alamiah – bukanlah pelayanan.
Belajarlan menjadi pelayan dari alam sekitarmu.
Matahari memberimu cahaya tanpa ekspektasi apapun. Bulan bersinar tanpa berharap balasan. Angin berhembus karena memang berhembus adalah perannya dalam alam ini. Air mengalir atas iramanya sendiri. Dan, kita menerima rahmah, manfaat dari mereka semua. Kita mengambil manfaat dari mereka karena semata menjalankan peran dalam alam ini. Mereka tak menginginkan hal yang lain.
Dengan menjadi pelayan, kita menjadi diri kita sendiri.
Dengan menjadi arogan dan tak melayani, kita melawan takdir kita sendiri. Sebagai akibatnya kita menciptakan masalah bagi diri kita sendiri.
Dengan menjadi pelayan, kita tak melakukan apapun demi kebaikan orang lain.
Sesungguhnya, sebuah tindakan pelayanan bermanfaat bagi diri kita sendiri – karena ia menghubungkan kita dengan takdir kita! Jadilah seorang pelayan, sehingga, ini demi kebaikan diri kita sendiri.
Keluar, tinggalkan cangkangmu, dan terjunlah ditengah-tengah mereka yang miskin, rapuh, tak berdaya…Rasakan penderitaan mereka, rasa lapar dan kehauasan mereka….rasakan itu semua sampai air mata menetes dari kelopak matamu dan hatimu berdarah…Dan, kamu akan secara otomatis sekali bergerak untuk melayani mereka. Pelayanan macam ini menjangkau mereka yang paling diabaikan, menurut pendapatku, ini adalah pelayanan yang sesungguhnya.

Kamu tak harus menunggu pers datang dan meliput aksi pelayananmu ini. Pelayanan tak ada kaitannya dengan liputan media. Hari ini koran masih berharga untuk dibaca besok hanya menjadi limbah kertas saja. Jadi, jangan terlalu menghiraukan liputan media!

Jangan kamu bertindak seperti para politisi malang dan partai politik yang menghamburkan uang untuk iklan dan kampanye tentang pelayanan ketimbang melakukan tindakan pelayanan itu sendiri!

Hal lain yang amat penting. : Menjadi pelayan berarti juga menjadi amat cerdas. Pelayanan adalah sebuah tindakan yang berasal dari pikiran yang tajam. Otak yang tumpul hanya bisa mendonor uang dan mereka tak bisa melayani. Dan kita, kita telah melihat perbedaan antara keduanya. Orang yang tumpul pemahamannya tak bisa melakukan pelayanan – paling banter mereka bisa membantu. Dan, hal ini menggelembungkan ego mereka. Bantuan semacam ini tak meningkatkan kesadaran mereka sama sekali.

Beberapa waktu lalu ketika rangkaian gempa bumi meluluh–lantakkan kota Jogjakarta, banyak orang, organisasi, bahkan pejabat datang untuk membantu. Saat ini mereka tak begitu lagi membutuhkan pangan, obat dan pakaian. Teman kita yang mengikuti perkembangan situasi ini dari dekat dan intens memutuskan untuk melayani dalam satu hal yang amat spesifik yang tak seorangpun sama sekali memikirkannya, yakni membantu mereka mengatasi stres dan trauma. Untuk mengangkat kembali semangat mereka dan energi kehidupan sehingga mereka dapat kembali bekerja tak hanya mengantri di depan dapur umum gratisan yang banyak tersebar di daerah tersebut. Mereka berhasil, dan Pemerintah daerah mengetahui hal ini dan mengunjungi posko mereka, bahkan bernyanyi dengan mereka. Ini adalah cara yang cerdas untuk melakukan pelayanan. Ini menjadi sebuah pelayanan dalam arti yang sesungguhnya.

Curahkan waktumu; berikan energimu. Pada hal yang penting. Banyak orang bisa memberi uang, tapi hanya sedikit yang benar-benar bisa memberikan waktu dan energinya. Jangan kamu menjadi bagian dari banyak sukarelawan yang sering kamu lihat, tak satupun dari mereka yang benar-benar sukarelawan. Sebagian besar dari mereka dibayar, entah oleh pemerintah atau oleh institusi yang mereka wakili. Banyak dari mereka yang disewa oleh apa yang di sebut LSM, mereka menuntut bayaran lebih banyak ketimbang gajimu dan gajiku. Mereka adalah pekerja biasa, mereka bekerja untuk hidup. Mereka mendapat bayaran untuk pekerjaan mereka. Dan tak pantas disebut pelayan.

Aku tak mengatakan bahwa mereka tak dibutuhkan. Mereka dibutuhkan juga. Tapi mereka bukanlah sukarelawan dalam arti kata yang sebenarnya. Mereka pekerja bayaran. Mungkin instrtusi yang mereka wakili menyebut sebagai pelayan. “Mungkin”, karena walau tetap ada pengecualian. Banyak institusi yang memiliki agenda terselubung yakni mempromosikan ideologi tertentu lewat karya pelayanan mereka.

Sepenuhnya pilihan ada ditanganmu, sekarang – kamu mau menjadi pelayan atau pekerja bayaran. Jika kamu memilih menjadi pelayan, maka persiapkan dirimu untuk waktu-waktu yang penuh kerja keras di masa depan. Karena pelayanan menuntut pengorbanan. Pelayanan sinonim dengan pengorbanan. Hanya meluangkan sejumlah waktu dan energi untuk cita-cita ini mungkin tak bakal cukup. Kamu harus menyerahkan kepalamu untuk ini. Dan itulah Puncak Tindakan Pelayanan.

MENJADI BERANI VERSUS MELAWAN RASA TAKUT


Seorang teman kita, seorang “pakar” Zen, menasehati kawan lain untuk menaklukan rasa takutnya. Ia dengan bangganya berkata, “Aku menolak untuk diperbudak oleh rasa takut.”

Sekarang, “menolak” untuk diperbudak oleh rasa takut, tidak membebaskanmu dari rasa takut itu sendiri. Sebaliknya, penolakan semacam itu hanya membawamu pada sebuah pertempuran tiada akhir. Kamu menyatakan perang terhadap ketakutan. Dalam hal ini maka kamu akan menjadi amat keras, seperti batu. Kamu berjuang melawan ketakutan, dan sebaliknya ketakutanpun bereaksi terhadapmu. Ini perang yang tak berkesudahan, melelahkan. Tak akan ada yang mampu menang melawan ketakutan dengan cara semacam itu. Justru kamu akan kehilangan kemanusiaanmu, kerendahan hatimu, kelembutanmu dan segala sesuatu yang berharga dalam dirimu.

Kenapa bisa begitchu?
Karena, dengan menolak diperbudak oleh ketakutan, kamu sebenarnya mengakui kekuasaannya. Kamu sendiri yang menciptakan ketertindasan dan kamu sendiri pula yang menolaknya. Ini permainan pikiran semata. Dalam kenyataannya, kamu menciptakan konflik dalam pikiranmu sendiri. Kamu membangkitkan satu bagian dalam benakmu guna memerangi bagian yang lain. Ini langkah awal menuju kegilaan, schizophrenia. 

“Keahlian” nya dalam Zen telah mendaratkan dirinya dalam sebuah “abyss” ketersesatan-sungguh ironis! Dan, hal semacam ini telah berlangsung selama ribuan tahun bahkan lebih. Lihat saja yang terjadi di Jepang, negara yang selalu menghubungkan segala sesuatunya dengan Zen. Setelah 1000 tahun berlatih mempraktekkan Zen, negara ini menjadi begitu keras dan ganas bahkan hampir saja membinasakan seluruh dunia. Ia menjadi begitu ambisius, haus kekuasaan. Kenapa? 

Karna rasa takut.
Orang yang sungguh berani tak pernah menyerang orang lain. Ia akan selalu mencoba untuk tak bereaksi ataupun membalas, kecuali jika memang diperlukan. Jepang tak memiliki alasan yang masuk akal guna melibatkan dirinya dalam perang yang terjadi di Eropa. Tapi, ia tetap saja ngotot. Dan, ia melakukan ini karena ia merasa takut bahwa posisinya dalam kompetisi global guna meraup kekuasaan dan pengakuan akan tergusur. Ini terjadi karena ambisi dan kelaparan pada yang namanya kekuasaan.

Sayangnya kita tak mau belajar dari sejarah ini. Kita kerap membuat kesalahan yang sama, jatuh ke lubang yang sama.

Tapi, kita harus meninggalkan Jepang dan kekonyolannya dalam Perang Dunia II, dan teman kita – yang mengaku seorang “pakar” Zen. Ia adalah korban kesalahpemahaman definisi Zen sebagai “Jalan para Ksatria”. Pilihan phrase “Jalan para Ksatria” itu sendiripun sudah tak tepat, tak sesuai dengan makna yang hendak di sampaikan.
Bodhidarma, yang memperkenalkan Dhyaan, meditasi di China, menyebutnya Raja-Yoga. Ia menggunakan istilah umum yang berarti. Jalan para Raja. Atau lebih tepat diterjemahkan menjadi 
 “Jalan Kesetiaan”.

Dhyaan dalam bahasa China menjadi Chang, di Jepang disebut Zen…Dan Raja Yoga diterjemahkan menjadi Jalan para Ksatria. Seribu tahun lalu, Jepang dibagi menjadi “prefectures’ yang kecil-kecil – sebuah istilah yang menarik dan masih valid dan umum di Jepang hingga kini.

Prefectures bahkan bukan sebuah kerajaan kecil.
Mereka adalah distrik-distrik kecil ataupun besar, yang berkuasa bisa silih berganti sewaktu-waktu dalam hitungan bulan. Para Samurai yang haus kekuasaan dan ambisius selalu saling menggorok leher satu sama lain. Zen, sama sekali bukan seperti itu. Lantas, Para Master Zen pada saat itu berupaya mengubah para ksatria tadi dengan ajaran non-vilence, tanpa kekerasan. Mereka mencoba menjelaskan begini, “Hey…lihat, ini adalah Jalan kesetiaan, Jalan untuk menjadi Ksatria Sejati adalah saat kamu menguasai dirimu sendiri.”

Kemudian, ekspresi dan pemahaman mendalam semacam ini hanya menjadi bagian yang terlupakan dari Zen sendiri. Justru Archery, Kung Fu, dan pelbagai bentuk seni bela diri kini diajarkan atas nama Zen. Dan, Zen menjadi kehilangan esensinya, makna dan misi sejatinya.
Sayangnya, Zen yang tanpa makna ini sekarang populer diajarkan, dipelajari dan dipraktekkan hampir di seluruh dunia. Teman kita tadi adalah korban dari mal-praktek dalam proses pengajaran dan pembelajaran Zen. Akibatnya, ia menjadi begitu keras – jenis kekerasan yang kaku. Ia seolah menjadi pembawa nilai-nilai “positif” namun dengan cara yang “negatif”, ini merupakan negatifitas yang sama sekali tak bermanfaat bagi peradaban kita saat ini

Rasa takut tak perlu diperangi, dilawan.

Ini hanya perlu dipahami.

Dengan secara tepat memahaminya, kamu seketika itu juga mengatasi/melampauinya. Tak ada upaya yang harus dilakukan. Tak ada energi yang harus diboroskan untuk memeranginya. Tak ada setitikpun ruang dan waktupun untuk memeranginya.

Ketakutan exist karena kelemahan kita, karena kita merasa tidak mampu menghadapi situasi hidup tertentu. Satu-satunya solusinya adalah Pemberdayaan-Diri. Berdayakan Dirimu Sendiri!

Saat kamu tak mampu membereskan pekerjaanmu, kamu terus takut ketemu bossmu. Bagaimana mengatasi/melampaui ketakuatan semacam ini? yakni dengan mengembangkan keahlian yang dibutuhkan, dengan meningkatkan kemampuanmu, dengan Memberdayakan Dirimu.

Ini sama sekali tak tepat, melenceng dari Zen, jika kemudian kamu menemui bosmu dengan muka tegang, menantangnya dan berkata,”Ok, itulah aku. Aku tak tak mampu melakukan lebih dari itu. Dan kemudian, kamu memberi label pada kegilaan semacam itu sebagai “kejantanan”.

Tapi, itulah yang seseorang lakukan setelah berguru dengan “pakar” Zen kita. Hasilnya : kehilangan pekerjaan.

Ketakutan hanya bisa diatasi dengan memahami sebab awalnya, dan membuat perubahan/koreksi yang sesuai. Ketakutan adalah akibat. Akibat dari ketidakmampuan, kelemahan, dan di atas segalanya ketololan kita. Untuk mengatasi rasa takut, sederhana saja, kita harus membuat diri kita berdaya, kuat, dan cerdas. Kamu tak akan pernah bisa mengatasi rasa takut dengan memerangi atau menolaknya. Menolak rasa takut berarti menolak perubahan itu sendiri.

Jadilah berani, tapi jangan memerangi rasa takut….

Mengatasinya dengan pemahaman yang tepat tentang sebabnya. Jika kau tak tahu apa sebabnya maka kamu tak akan pernah bisa mengatasinya. Kamu akan tetap penakut selamanya, tak peduli berapa keras dan tegangnya wajahmu. Sebaliknya, kekerasan semacam ini akan membuatmu semakin takut, karena kamu kehilangan keluwesanmu, kemampuanmu beradaptasi dan mengikuti irama kehidupan. Dan, Hidup menjadi tiada bermakna bagi para penakut.

Sebuah pesan untuk kawan kita, yang mengaku Pakar Zen, “Lebih baik kamu mengurusi dirimu sendiri. Tak perlu menasehati orang lain dan sok-sok menjadi jagoan/juru selamat, karena kamu hanya akan membahayakan mereka.”

JIWA, RAGA, SUKMA, NYAWA

Sejenak kita akan membahas (lagi) ilmu tentang jiwa, tetapi mungkin para pembaca yang budiman masih bertanya tanya apa perbedaan antara jiwa, jasad, dan sukma. Sebelum saya menjabarkan ketiganya, kiranya perlu saya tampilkan beberapa cuplikan pemahaman orang lain tentang jiwa sebagai upaya mencari komparasi dan menambah khasanah ilmu kejiwaan.

KERANCUAN MEMAKNAI JIWA, SUKMA, NYAWA, PSIKHIS
JIWA, di dalam Oxford Dictionary tertulis soul (roh), mind dan spirit. Sementara dalam bahasa Indonesia cukup dengan padanan yaitu jiwa. Yunani Psychê yang berarti jiwa dan logos yang berarti nalar, logika atau ilmu. Tubuh adalah bagian yang fenomenal, dapat ditangkap oleh pancaindera dan bersifat fana sedangkan jiwa menurut Plato (500 SM) merupakan bagian yang memiliki substansi tersendiri (terpisah dari jasad) dan bersifat abadi. Plato berargumen, bahwa jiwa menempati tempat yang lebih tinggi daripada tubuh, lebih jauh ia mengatakan bahwa tubuh adalah kubur bagi jiwa karena tubuh menghambat kebebasan jiwa. Bagi seorang murid Plato, yakni Aristoteles (400 SM), semua yang hidup mempunyai jiwa seperti tumbuh-tumbuhan, hewan dan tentu saja manusia. Bagi Plato jika seseorang mati, maka jiwanya akan tetap ada dan kembali kedunia Idea di mana di sana terdapat segala hal yang ideal (sempurna) untuk kemudian jiwa akan mereinkarnasi diri dan menubuh kembali pada saatnya. Di sisi lain Aristoteles muridnya, memiliki pandangan berbeda, ia tidak setuju keduaan ala gurunya. Bagi Aristoteles tubuh dan jiwa itu bukan keduaan melainkan kesatuan. Olehkarenanya jika seseorang mati, maka konsekuensinya jiwapun turut mati bersama tubuh. Mana yang benar, Plato atau Aristoteles ? Saya kira kedua-duanya konsep Plato dan Aristoteles tetap mengandung kelemahan-kelemahan. Bahkan jika ditelaah lebih dalam, banyak ilmuwan kesulitan memetakan letak di mana jiwa (nafs, hawa, nafas, soul), roh (spirit) dan raga (body). Hal ini bukan berarti para filsuf pendahulu kita gegabah dalam memaknai tentang jiwa. Dapat dimaklumi sebab mempelajari tentang seluk beluk kejiwaan kita, musti menggunakan jiwa kita sendiri. Golek latu adadamar, atau mencari bara api dengan menggunakan obor sebagai penerang jalan. Sangatlah bisa dimaklumi sebab pembahasan jiwa sudah bersinggungan dengan ranah gaib yang tak tampak oleh mata wadag.

JIWA MENURUT KI AGENG SURYO MENTARAM
Sejenak para pembaca yang budiman saya ajak mampir ke padepokan seorang filsuf Jawa dan kondang sebagai seorang yang linuwih dan sakti mandraguna. Beliau adalah Ki Ageng Suryo Mentaram (kebetulan dulu tinggalnya di belakang rumah kami). Ki Ageng Suryo Mentaram membahas ilmu jiwa yang dikemukakan seorang filsuf Jawa sekaligus penghayat kejawen yang pada waktu hidupnya beliau terkenal sebagai seseorang yang memiliki ilmu linuwih dan sakti mandraguna.Baca selanjutnya !

Ilmu jiwa sebagaimana diungkapkan Ki Ageng Suryo Mentaram dikenal dengan dua macam jiwa. Yakni jiwa KRAMADANGSA, dan jiwa BUKAN KRAMADANGSA. Apa yang disinyalir sebagai jiwa kramadangsa adalah jiwa yang tidak abadi disebut pula sebagai rasa “Aku Kramadangsa”. Aku kramadangsa termasuk di dalamnya adalah “rasa nama” atau ke-aku-an, misalnya aku bernama Siti Ba’ilah. Aku adalah seorang musafir, aku seorang satrio piningit, aku adalah seorang kaya raya. Ki Ageng Suryo Mentaram mensinyalir adanya “rasa jiwa” yang bersifat abadi. Dimaknai sebagai Aku bukan kramadangsa. Menurut Ki Ageng Suryo Mentaram, rasa aku kramadangsa adalah ke-aku-an (naari atau “unsur api”) yakni aku yang masih terlena, terlelap dalam berbagai rasa aku yang terdapat di dalam lautan kramadangsa. Sebaliknya aku bukan kramadangsa adalah aku yang telah otonom yang sudah memiliki KESADARAN memilih mana yang BENAR dan mana yang SALAH sehingga ia dapat dinamai “Aku kang jumeneng pribadi”.

Menurut Ki Ageng Suryomentaram alat manusia untuk mendapatkan pengetahuan terdiri dari tiga bagian yakni pancaindera, rasa hati dan pengertian. Pertama, pancaindera, seperti yang telah kita ketahui yaitu alat penglihatan (mata), alat pendengaran (telinga), alat penciuman (hidung), alat pencecap (lidah) dan alat peraba (kulit, misalnya: jari- jari tangan merasa panas kena api, kulit merasa gatal terkena bulu ulat, dll). Kedua, rasa hati, adalah suatu kesadaran diri tentang keberadaan aku di mana aku dapat merasa senang, susah dan lain-lain. Ketiga, adalah pengertian, kegunaan pengertian dapat menentukan tentang hal-hal yang berasal dari pancaindera dan juga dari rasa hati. Pengertian di sebut pula sebagai persepsi, yang pada gilirannya akan menentukan mind-set atau pola pikir. Dengan demikian alat pengertian ini dapat dikatakan sebagai alat yang tertinggi tingkatan otonominya bagi manusia karena ia sudah melampaui pengetahuan yang didapat dari alat pertama dan kedua. Ia sudah merupakan suatu refleksi kritis, kontemplasi, endapan yang didapat dengan cara menyeleksi hal-hal yang tidak diperlukan kemudian hanya memilih yang berguna atau bermanfaat saja. Sedangkan alat di luar ketiga tersebut tak diketahui karena di dalamnya terdapat banyak hal yang masih mysteré sulit terjangkau oleh kemampuan alat manusia.

JIWA YANG MERDEKA (KAREPING RAHSA)
Jiwa adalah nafas, nafs, hawa atau nafsu. Jiwa yang telah merdeka barangkali artinya sepadan dengan apa yang dimaksud jiwa yang mutmainah (an-nafsul mutmainah). Rasanya sepadan dengan apa yang dimaksud dalam konsep Ki Ageng Suryo Mentaram sebagai aku bukan kramadangsa. Aku bukan kramadangsa selanjutnya saya lebih suka menyebutnya sebagai JIWA yang NURUTI KAREPING RAHSA, lebih mudah dipahami bila saya analogikan sebagai JIWA yang TUNDUK KEPADA SUKMA SEJATI. Sebaliknya apa yang disebut sebagai jiwa kramadangsa, aku kramadangsa, tidak lain adalah jiwa yang NURUTI RAHSANING KAREP. Lebih tegas lagi saya sebut sebagai JIWA yang DITAKLUKKAN OLEH JASAD.

Barangkali perlu dipahami bahwa jiwa kramadangsa (rasa nama) kesadarannya lebih dari jiwa yang berhasil diidentifikasi oleh Aristoteles sebagai jiwa yang ikut mati. Saya kira Aristoteles hanya menangkap jiwa-jiwa sebagaimana jiwa binatang dan tumbuhan yang ikut mati. Dan Sementara itu jiwa kramadangsa di sini adalah jiwa dengan kesadaran rendah, yang dimiliki manusia. Jiwa kramadangsa hanya terdiri dari kumpulan seluruh catatatan di dalam memori jasad manusia yang berisi semua tentang dirinya dan semua yang pernah dialaminya. Tidak seluruh memori itu bersifat abadi karena banyak catatan-catatan in memorial dapat terlupakan bahkan lenyap bersama jasad yang mati. Berbeda dengan “aku bukan kramadangsa”, berarti yang dimaksudkan adalah “aku yang dapat mengatasi kramadangsa” karena itu “aku” adalah aku yang dapat mengatur dengan baik kramadangsa-ku.

JIWA, ROH, JASAD
Tulisan saya di sini mencoba untuk membantu menjabarkan apa sejatinya di antara ke tiga unsur inti manusia yakni jiwa, roh dan jasad. Tentu kami yang miskin referensi buku hanya bisa menyampaikan berdasarkan pengalaman pribadi sebagai data mentah untuk kemudian saya rangkum kembali dalam bentuk kesimpulan sejauh yang bisa diketahui. Pengalaman demi pengalaman batin, memang bersifat subyektif, artinya tak mudah dibuktikann secara obyektif oleh banyak orang, namun saya yakin banyak di antara para pembaca pernah merasakan, paling tidak dapat meraba apa sesungguhnya hubungan di antara jiwa, roh, dan jasad. Walaupun jiwa dan roh berkaitan dengan gaib, namun bukankah entitas gaib itu berada dalam diri kita. Diri yang terdiri dari unsur gaib dan unsur wadag (fisik), tak ada alasan bagi siapapun untuk tidak bisa merasakan dan menyaksikan “obyektivitas” kegaiban. Mencegah diri kita dari unsur dan wahana yang gaib sama saja artinya kita mengalienasi (mengasingkan) dan membatasi diri kita dari “diri sejati” yang sungguh dekat dan melekat di dalam badan raga kita.

Sukma-Raga
Hubungan antara roh/sukma dengan raga bagaikan rangkaian perangkat internet. Sukma atau roh dapat diumpamakan IP atau internet protocol, yang mengirimkan fakta-fakta dan data-data “gaib” dalam bentuk “bahasa mesin” yang akan diterima oleh perangkat keras atau hardware. Adapun hardware di sini berupa otak (brain) kanan dan otak kiri manusia. Sedangkan tubuh manusia secara keseluruhan dapat diumpamakan sebagai seperangkat alat elektronik bernama PC atau personal komputer, note book, laptop dst yang terdiri dari rangkaian beberapa hardware. Hardware otak tak akan bisa beroperasional dengan sendirinya menerima fakta dan data gaib yang dikirim oleh sukma. Hardware otak terlebih dulu harus diisi (instalation) dengan perangkat lunak atau sofware berupa “program” yang bernama spiritual mind atau pemikiran tentang ketuhanan, atau pemikiran tentang yang gaib.

Sukma-Jiwa
Namun demikian, hardware otak tidak akan mampu memahami fakta-fakta gaib tanpa adanya jembatan penghubung bernama jiwa. Jiwa merupakan jembatan penghubung antara sukma dengan raga. Aktivitas sukma antara lain mengirimkan bahasa universal kepada raga. Bahasa universal tersebut dapat berupa sinyal-sinyal gaib, pralampita, perlambang, simbol-simbol, dalam hal ini saya umpamakan layaknya bahasa mesin, di mana jiwa harus menterjemahkannya ke dalam berbagai bahasa verbal agar mudah dimengerti oleh otak manusia. Tugas jiwa tak ubahnya modem untuk menterjemahkan “bahasa mesin” atau bahasa universal yang dimiliki oleh sukma menjadi bahasa verbal manusia.

Namun demikian, masing-masing jiwa memiliki kemampuan berbeda-beda dalam menterjemahkan bahasa universal atau sinyal yang dikirim oleh sukma kepada raga, tergantung program atau perangkat lunak (software) jenis apa yang diinstal di dalamnya. Misalnya kita memiliki program canggih bernama Java script, yang bisa merubah bahasa mesin ke dalam bentuk huruf latin atau bahasa verbal, dan bisa dibaca oleh mata wadag.

Jiwa-Raga
Setelah jiwa berhasil menterjemahkan “bahasa mesin”, atau bahasa universal sukma ke dalam bahasa verbal, selanjutnya menjadi tugas otak bagian kanan manusia untuk mengolah dan menilainya melalui spiritual mind atau pemikiran spiritual. Semakin besar kapasitas random acces memory (RAM) yang dimiliki otak bagian kanan, seseorang akan lebih mampu memahami “kabar dari langit” yang dibawa oleh sukma, dan diterjemahkan oleh jiwa. Itulah alasan perlunya kita meng upgrade kapasitas “RAM” otak bagian kanan kita agar supaya lebih mudah memahami fakta gaib secara logic. Sebab sejauh yang bisa saya saksikan, kenyataan gaib itu tak ada yang tidak masuk akal. Jika dirasakan ada yang tak masuk akal, letak “kesalahan” bukan pada kenyataan gaibnya, tetapi karena otak kita belum cukup menerima informasi dan “data-data gaib”. Dimensi gaib memiliki rumus-rumus, dan hukum yang jauh lebih luas daan rumit daripada rumus-rumus yang ada di dalam dimensi wadag bumi. Contoh yang paling mudah, misalnya segala sesuatu yang ada di dalam dimensi wadag bumi, mengalami rumus atau prinsip terjadi kerusakan (mercapadha). Merca berarti panas atau rusak, padha adalah papan atau tempat. Mercapadha adalah tempat di mana segala sesuatunya pasti akan mengalami kerusakan. Sementara itu di dalam dimensi gaib, rumus kerusakan tak berlaku. Sehingga disebutnya sebagai dimensi keabadian, atau alam kehidupan sejati, alam kelanggengan, papan kang langgeng tan owah gingsir. Sekalipun organ tubuh manusia, apabila dibawa ke dalam dimensi kelanggengan, pastilah tak akan rusak atau busuk sebagaimana pernah saya ungkapkan dalam kisah terdahulu, silahkan para pembaca yang budiman membuka posting berjudul KUNCI MERUBAH KODRAT. Sebaliknya, sukma yang hadir ke dalam dimensi bumi, pastilah terkena rumus atau prinsip mercapadha, yakni mengalami rasa cape, sakit, rasa lapar, ingin menikmati makanan dan minuman yang ia sukai sewaktu tinggal di dimensi bumi bersama raga. Hanya saja, sukmanya merupakan unsur gaib, maka tak akan terkena rumus atau prinsip mengalami kematian sebagaimana raga.

RUMUS-RUMUS KEHIDUPAN WADAG DAN GAIB
Jiwa yang terlahir ke dalam jasad manusia merupakan software yang merdeka dan bebas menentukan pilihan. Apakah akan menjadi jiwa yang mempunyai prinsip keseimbangan, yakni seimbang berdiri di antara sukma dan raga, menjadi pribadi yang seimbang lahir dan batinnya. Ataukah akan menjadi jiwa yang berat sebelah, yakni tunduk kepada sukma, ataukah jiwa yang menghamba kepada raga saja. Untuk menjadi pribadi yang dapat meraih keseimbangan lahir dan batin, jiwanya harus memperhatikan dan menghayati apa saran sang sukma (nuruti kareping rahsa). Tak perlu meragukan kemampuan sang sukma sebab ia tak akan salah jalan dalam menuntun seseorang menggapai keseimbangan lahir dan batin. Pribadi yang seimbang lahir dan batinnya akan mudah menggapai kemuliaan hidup di dunia dan kehidupan sejati setelah raganya ajal. Sementara itu bagi jiwa yang mau diperbudak oleh raga berarti menjadi pribadi yang hidup dalam penguasaan lymbic section, atau insting dasar hewani, selalu mengumbar hawa nafsu (nuruti rahsaning karep). Tentu saja kehidupannya akan jauh dari kemuliaan sejak hidup di mercapadha maupun kelak dalam kehidupan sejati.

Sebaliknya, bagi jiwa yang terlalu condong kepada sukma, ia akan menjadi pribadi yang fatalis, tak ada lagi kemauan, inisiatif, dan semangat menjalani kehidupan di dimensi wadag planet bumi ini. Seseorang akan terjebak ke dalam pola hidup yang mengabaikan kehidupan duniawi. Hal ini sangatlah timpang, sebab kehidupan duniawi ini akan sangat menentukan bagimana kehidupan kita kelak di alam keabadian. Apakah seseorang akan menggapai kemuliaan bahkan kemuliaan Hidup di dunia merupakan bekal di akhirat. Sebagaimana para murid Syeh Siti Jenar yang gagal dalam memahami apa yang diajarkan oleh gurunya. Para murid menyangka kehidupan di planet bumi ini tak ada gunanya, bagaikan mayat bergentayangan penuh dosa. Kehidupan dunia bagaikan penghalang dan penjara bagi roh menuju ke alam keabadian. Jalan satu-satunya melepaskan diri dari penjara kehidupan dunia ini adalah jalan kematian. Sehingga banyak di antara muridnya melakukan tindakan keonaran agar supaya menemui kematian.

NYAWA, KEMATIAN, DAN MERAGA SUKMA Banyak orang, melalui berbagai referensi, menganggap nyawa sama dengan jiwa. Bahkan dipahami secara rancu dengan menyamakannya dengan roh atau sukma. Nyawa, jiwa, roh, sukma, diartikan sama. Tetapi manakala kita menyaksikan peristiwa meraga sukma, perjalanan astral, lantas timbul tanda tanya besar. Bukankah saat terjadi peristiwa kematian, sukma seseorang keluar dari jasadnya ?! Kenapa orang yang meraga sukma tidak mengalami kematian ?! Sejak lama saya bertanya-tanya dalam hati saya sendiri. Apa gerangan yang terjadi dan bagimana duduk persoalannya. Bagaimanakah sebenarnya rumus-rumus tuhan yang berlaku di dalamnya ?

Butuh waktu puluhan tahun hingga saya menemukan jawaban logis, paling tidak nalar saya bisa menerimanya. Nyawa ibarat “lem perekat” yang menghubungkan antara sukma dengan raga manusia. Pada peristiwa kematian seseorang, nyawa sebagai lem perekat tidak lagi berfungsi alias lenyap. Jika lem perekatnya sudah tak berfungsi lagi maka lepaslah sukma dari jasad. Lain halnya dengan meraga sukma, lem perekat masih berfungsi dengan baik, sehingga kemanapun sukma berkelana, jasadnya yang ditinggalkan tidak akan mati. Hanya saja lem perekat bernama nyawa ini sistem bekerjanya berbeda dengan lem perekat pada umunya yang benar-benar menyambung merekatkan antara dua benda padat. Nyawa merekatkan antara jasad dan sukma secara fleksibel, bagaikan dua peralatan yang dihubungkan oleh teknologi nir kabel. Namun demikian nyawa tentu saja jauh lebih canggih ketimbang teknologi bluetooth yang bisa menghubungkan dua peralatan dalam jarak dekat maupun jauh. Dalam khasanah spiritual Jawa, para leluhur di zaman dulu menemukan adanya keterkaitan masing-masing unsur gaib dan wadag manusia. Raga supaya hidup harus dihidupkan oleh sukma, sukma diikat oleh rasa. Ikatan rasa akan pudar dan lama-kelamaan akan habis apabila rasa tidak kuat lagi menahan penderitaan dan trauma yang dialami oleh raga. Bila seseorang tak kuat lagi menahan rasa sakit, kesadaran jasadnya akan hilang atau mengalami pingsan, dan bahkan kesadaran jasadnya akan sirna samasekali alias mengalami kematian. Di sini peristiwa kematian adalah padamnya “alat nirkabel” atau semacam “bluetooth” bikinan tuhan sehingga terputuslah hubungan antara jasad dan sukma. Lain halnya dengan aksi meraga sukma, sejauh manapun sukma berkelana ia tetap terhubung dengan raga melalui “teknologi” bluetooth bikinan tuhan bernama nyawa.










sumber : http://sabdalangit.wordpress.com

KALI YUGA

Dalam Bhagavata Purana 12.3.30 disebutkan; “Sa kaler tamasa smrtah, ketika sifat alam tamas (kegelapan/kebodohan) begitu pekat menyelimuti penduduk dunia, masa itu disebut Kali-Yuga. “Kaler prasupto bhavati sah, waktu ketika manusia tidur, itu di-sebut Kali-Yuga (Manu Smrti IX.302)”. Disini kata  tamas  (kegelapan) dan prasupto (tidur) berarti manusia tidak insyaf pada hakekat dirinya sebagai jiva spiritual abadi. Karena itu, Kali-Yuga disebut jaman kegelapan spiritual.
Kali-Yuga adalah salah satu dari empat (catur) Yuga yang kondisi kehidupan manusianya paling buruk dan paling jelek akibat kegelapan spiritual. Keempat Yuga dimaksud adalah:


  1. Satya-Yuga
  2. Treta-Yuga
  3. Dvapara-Yuga, dan
  4. Kali-Yuga.
Menurut Bhagavata Purana 12.3.27-30, segala kegiatan di alam material ini terjadi karena interaksi Tri Guna, tiga sifat alam material yaitu: sattvam (kebaikan), rajas (kenafsuan) dan tamas (kegelapan). Ia (Tri-Guna) menyelimuti segala makhluk di alam material. Dan ketiga unsurnya itu berinteraksi karena dipicu oleh sang waktu, tenaga pengendali tak berwujud Sri Krishna. Yuga sebagai pencerminan ketiga sifat alam material tersebut dapat diringkas sebagai berikut.

Dari segi kenyamanan hidup, keempat Yuga tersebut di ibaratkan sebagai musim yang berbeda-beda. Dari segi kualitas kehidupan, keempat Yuga tersebut di ibaratkan sebagai logam yang berbeda-beda. Dari segi spiritual, keempat Yuga tersebut di-ibratkan sebagai kegiatan sang manusia yang berbeda-beda.

Berdasarkan penelitian seksama terhadap Jyotir-Veda (ilmu Astronomi Veda), para akhli (sarjana tradisional Veda) menyatakan bahwa Kali-Yuga mulai pada tanggal 18 Pebruari 3102 SM ketika Raja Pariksit naik tahta Kerajaan Hastinapura. Dikatakan bahwa pada hari itu ke 7 (tujuh) planet termasuk Bulan dan Matahari tidak dapat dilihat dari Bumi, sebab mereka berjejer lurus satu arah dibalik Bumi. Sementara itu, planet Rahu yang tidak bisa dilihat mata telanjang, tepat berada diatas Bumi di langit yang gelap gulita. Oleh karena tahun Masehi telah berlangsung selama 2006 tahun, maka pernyataan bahwa Kali-Yuga mulai sekitar 5.100 tahun yang lalu diakui sebagai kebenaran oleh para penganut ajaran Veda.

Diceritrakan bahwa Raja Pariksit bertemu kepribadian Kali-Yuga dalam wujud seorang sudra berkulit hitam dan berpakaian seperti Raja di tepi sungai Saraswati ketika beliau memeriksa wilayah Kerajaannya. Si sudra  sedang  menyiksa sapi jantan (perlambang dharma) dan sapi betina (perlambang Bumi) dengan gada. Karena mohon maaf atas perbuatannya yang biadab, Raja Pariksit tidak membunuh si sudra. Beliau mengusir si sudra keluar wilayah Kerajaannya dan memperkenankan dia tinggal di 4 (empat) tempat yaitu:
  1. Rumah Potong Hewan
  2. Tempat pelacuran
  3. Tempat perjudian, dan
  4. Tempat dimana emas disimpan.
Veda menyatakan bahwa Bumi diliputi Kali-Yuga setelah Sri Bhagavan, Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa , Krishna kembali ke tempat tinggalnya Goloka-dhama di alam rohani. Dikatakan bahwa begitu Kali-Yuga memasuki Bumi, maka pape yad ramate janah, manusia  mulai bersuka-ria dalam beraneka-macam kegiatan berdosa (Bhagavata Purana 12.2.29).

Tetapi selama Sri Krishna masih menginjakkan kaki-Nya di Bumi, tavat  kalir vai prthivim parakrantun na casakat, selama itu pula Kali-Yuga tidak berdaya menguasai Bumi (Bhagavata Purana 12.2.30).

Bhagavata Purana  12.2.31 menyatakan bahwa Kali-Yuga berlangsung selama  dvadasabda satatmakah, dua abad deva, atau 1.200 tahun deva. Menurut tahun manusia, Kali-Yuga berlangsung selama 1.200 x 360 =  432.000  tahun (1 hari deva = 1 tahun manusia). Dari jumlah ini, 5.100 tahun telah berlalu, sehingga Kali-Yuga punya jangka waktu berlangsung yang masih lama yaitu 426.900 tahun manusia.

Dikatakan lebih lanjut oleh Veda bahwa Kali-Yuga mulai mencengkram penduduk Bumi dengan kekuatannya penuh ketika kumpulan bintang (planet) Sapta-Rishi bergerak dari garis edar Bulan yang di-sebut Magha ke garis edar Bulan yang disebut Purvasadha yaitu ketika Raja Nanda dan dinastinya mulai memerintah India (Bhagavata Purana 12.2.32). Itu terjadi sekitar 1977 tahun SM (Sebelum Masehi).

Kali-Yuga sebagai jaman kemerosotan akhlak dan moral ditunjukkan oleh pernyataan-pernyataan Veda berikut.
Veda menyatakan,”Sa kalir tamasa smrtah, Kali-Yuga disebut jaman tamas, kegelapan/kebodohan”(Bhagavata Purana 12.3.30). Tamas (kegelapan/kebodohan) adalah salah satu unsur Tri-Guna, tiga sifat alam material yaitu sattvam (kebaikan), rajas (kenafsuan) dan tamas (kegelapan).

Mengenai sifat alam tamas ini, Veda menjelaskan sebagai berikut, “Sifat alam tamas ini menyebabkan manusia mengkhayal, sehingga manusia menjadi berpikir tidak waras, malas dibidadang kerohanian dan banyak tidur”. Selanjutnya dikatakan,”Adharmam dharman iti ya manyate tamasavrta, diliputi sifat tamas, manusia menganggap yang benar adalah salah dan yang salah adalah benar, sehingga sarvarthan viparitams ca, segala kegiatannya menuju kearah sesat” (Bhagavad Gita 18.32).
Penjelasan Veda lebih lanjut adalah sebagai berikut:
  1. Dalam masa Kali-Yuga, manusia cendrung semakim rakus, berprilaku jahat (korup) dan tidak mengenal belas-kasihan. Mereka bertengkar satu dengan yang lain tanpa alasan benar. Mereka bernasib malang, diliputi beraneka-macam keinginan material dan sudra-dasottarah prajah, mayoritas tergolong sudra dan manusia tidak beradab (Bhagavata Purana 12.3.25).
  2. Kegiatan tipu-menipu dan berbohong, malas dibidang kerohanian, banyak tidur dan tindak kekerasan, kecemasan, kesedihan, kebingungan, ketakutan dan kemiskinan merajalela (Bhagavata Purana 12.3.30).
  3. Karena fakta-fakta tersebut, maka Kali-Yuga sering disebut sebagai jaman kemerosotan akhlak dan moral, jaman perselisihan dan pertengkaran, jaman kepalsuan, jaman edan, jaman kekalutan, jaman kemunafikan, jaman penderitaan dan kesengsaraan.
Maha  Rishi Sukadeva Goshwami menjelaskan 24 ciri Kali-Yuga kepada Raja Pariksit, yaitu;
  1. Dharma merosot dan Adharma berkembang subur.
  2. Kualitas, moral dan hidup manusia merosot.
  3. Manusia bertabiat Asurik (jahat).
  4. Manusia munafik dan curang.
  5. Raja, kepala da pejabat negara bermoral buruk dan rendah.
  6. Kekayaan material dan keniknatan indriyawi menjadi tujuan hidup.
  7. Hukum dan keadilan ditentukan oleh kekuasaan.
  8. Perkawinan berlangsung karena daya tarik material dan sex berdasarkan prinsip suka sama suka.
  9. Segala urusan dan hubungan bisnis berlandaskan tipu-muslihat.
  10. Para brahmana sibuk dengan urusan mengenyangkan perut dan memuaskan kemaluan.
  11. Aturan hidup varna-asrama dharma dicampakkan.
  12. Manusia selalu berpikir keliru.
  13. Kekuasaan dicapai melalui kekuatan.
  14. Rakyat menderita karena bencana alam, kelaparan, beban pajak, penyakit dan kecemasan.
  15. Wanita hidup bebas dan tidak suci.
  16. Veda dimengerti dengan pola pikir atheistik.
  17. Kota-kota dikuasai para bandit.
  18. Sapi dibunuh untuk makanan.
  19. Majikan dan pelayan saling tidak setia.
  20. Laki-laki dikendalikan wanita.
  21. Orang-orang sudra menipu melalui praktek kerohanian.
  22. Manusia menjadi amat individualistik.
  23. Manusia dan alam terkena polusi, dan
  24. Manusia melalaikan Tuhan karena berwatak atheistik.
Berikut  diuraikan secara ringkas setiap ciri Kali-Yuga berdasarka sloka-sloka Veda.
Dharma merosot dan adharma berkembang
Tatas canudinam dharmah satyam saucam ksama daya kalena balina nanksyati, dharma (agama) beserta ke-empat prinsipnya yaitu satyam (kejujuran), saucam (kesucian diri), ksama (kesabaran) dan daya  (kasih-sayang) merosot dari hari ke hari karena pengaruh buruk Kali-Yuga (Bhagavata Purana 12.2.1).
Yada mayanrtam tandra nidra himsa visadanam sa kalir tamasa smrtah, ketika kegiatan tipu-menipu (maya), bohong-membohongi (anrta), kemalasan spiritual (tandra), ketidak-insyafan pada diri (nidra), tindak kekerasan (himsa) dan kecenasan (visadanam) merajalela di masyarakat dunia, maka masa itu disebut Kali-Yuga, jaman kegelapan spiritual (Bhagavata Purana 12.3.30).

Kualitas, moral dan hidup manusia merosot
Prayenalpayusah sabhya kalau asmin yuge janah mandah sumandaya-amatayo manda bhagya hy upadrutah, manusia Kali-Yuga pendek umur, malas dibidang kerohanian, malang, hidup sesat dan selalu cemas (Bhagavata Purana 1.1.10).
Kalena balino rajan nanksyati ayuh balam smrtih, O sang Raja, usia, kekuatan pisik serta ingatan manusia merosot terus karena pengaruh buruk Kali-Yuga (Bhagavata Purana 12.2.1).

Ksiyamanesu dehesu dehinam kali dosatah, badan jasmani (pisik) sang manusia akan semakim mengecil karena pengaruh buruk Kali-Yuga (Bhagavata Purana 12.2.12).

Durbhaga bhuri-tarsah ca sudra dasottarah prajah, manusia Kali-Yuga bernasib malang, diliputi beraneka macam keingianan material dan mayoritas ter-golong  sudra dan orang-orang tidak beradab (Bhagavata Purana 12.3.25).

Tasmat ksudra-drso martyah ksudra bhagya mahasanah kamino vitahinas ca, karena pengaruh buruk Kali-Yuga, manusia jadi berpandangan pendek, bernasib malang, rakus makan, penuh nafsu dan hidup miskin (Bhagavata Purana 12.3.31).

Anapady api mamsyante vartam sadhu jugupsitam, meskipun tidak dalam keadaan darurat/terdesak, manusia Kali-Yuga menganggap pekerjaan rendah/hina apapun adalah baik (Bhagavata Purana 12.3.35).

Kalau kakinike vigrhya tyakta-sauhrdah tyaksyanti ca priyan pranan hanisyanti svakan api, pada jaman Kali orang-orang
saling bermusuhan satu dengan yang lain karena masalah kecil yang tidak berarti. Begitulah, dengan melupakan segala hubungan baik,mereka siap mengorbankan nyawa dan bahkan mau membunuh sanak-keluarga sendiri (Bhagavata Purana 12.3.41).

Manusia bertabiat asurik (jahat)
Tasmin lubdha duracara nirdayah suska-vairinah, (pada jaman Kali) manusia jadi serakah, berwatak jahat (korup) dan tidak mengenal belas-kasihan. Mereka bertengkar satu dengan yang lain tanpa alasan benar (Bhagavata Purana 12.3.25).

Manusia munafik dan curang
Vipratve sutram eva hi, seseorang disebut brahmana hanya karena dia memakai tali suci (Bhagavata Purana 12.2.3).

Pandita capalam vacah, orang yang amat pintar berkatakata, dianggap sarjana terpelajar (Bhagavata Purana 12.2.4).

Sadhutve damba eva tu, kemunafikan dianggap kebajikan (Bhagavata Purana 12.2.5).

Satyatve dharstyam eva hi, dia yang punya keberanian bicara dan bertindak, dianggap orang benar (Bhagavata Purana 12.2.6).

Yaso’rthe dharma sevanam, kegiatan keagamaan dilaksanakan semata-mata untuk memperoleh ketenaran/kemasyuran (Bhagavata Purana 12.2.6).

Evam prajabhir dustabhir akirne ksiti mandale, Bumi dipenuhi oleh penduduk berwatak curang (Bhagavata Purana 12.2.7).

Dharmam vaksyanty adharma-jna adhiruhyottamasanam, orang yang tidak tahu sedikitpun ajaran agama (dharma) duduk di kursi tinggi dan ber-pidato tentang prinsip-prinsip dharma (Bhagavata Purana 12.3.38).

Raja, kepala dan pejabat negara berwatak rendah/buruk/korup 
Mleccha-prayas ca bhu-bhrtah ete’dharmanrta parah phalgu dasa tivra manyawah, hampir semua Raja/Kepala/Pejabat negara, adalah mleccha,orang-orang tidak beradab. Mereka serakah, berwatak keras dan pemarah, mengabdi pada kepalsuan dan kebatilan (Bhagavata Purana 12.1.38).

Prajas te bhaksayisyanti mleccha rajanya rupinah, orang-orang mleccha dalam wujud para Raja/Kepala/Pejabat negara hanya menyebabkan rakyat menderita belaka (Bhagavata Purana 12.1.40).

Praja hi lubdhai rajanyair nirghrnair dasyu-dharmabhih, rakyat diperintah oleh Raja/Kepala/Pejbat negera yang prilakunya tidak berbeda dari pada prilaku para pencuri (Bhagavata Purana 12.2.8).

Rajanas ca praja-bhaksah, para Raja/Kepala/Pejabat negara kerjanya hanya memeras/menindas rakyat belaka (Bhagavata Purana 12.3.32).

Kekayaan material dan kenikmatan indriyawi menjadi tujuan hidup
Vittam eva kalau nrnam janmacara gunodayah, (pada jaman Kali) kekayaan material dijadikan petunjuk kelahiran, prilaku dan sifat-sifat baik seseorang (Bhagavata Purana 12.2.2).

Avrtya nyaya daurbalyam, orang miskin diperlakukan secara tidak adil  (Bhagavata Purana 12.2.4).

Anadhyata ivasadhutve, seseorang dianggap hina jikalau dia miskin (Bhagavata Purana 12.2.5).

Udaram bharata svarthah, mengenyangkan perut menjadi tujuan hidup manusia (Bhagavata Purana 12.2.6).

Ksudrah sisnodaram svarthah, manusia hanya perduli pada ikhtiar memuaskan perut dan kemaluan  (Bhagavata Purana 12.3.42).

Keadilan ditentukan oleh kekuasaan 
Dharma nyaya vyavasthayam karanam balam eva hi, hukum dan keadilan ditetapkan oleh kehendak orang yang berkuasa (Bhagavata Purana 12.2.2).

Perkawinan berlangsung karena daya tarik material dan sex berdasarkan prinsip suka sama suka
Dampatye’ bhirucir hetur, orang laki dan wanita kawin semata-mata karena daya tarik pisik yaitu ketampanan/kecantikan, kekayaan dan kedudukan material (Bhagavata Purana 12.2.3).

Stritve pumstve ca hi ratir, seseorang dikatakan wanita atau lelaki sejati bila dia secara seksual berguna (Bhagavata Purana 12.2.3).

Svikara eva codvahe, perkawinan terlaksana berdasarkan kesepkatan lisan belaka (Bhagavata Purana 12.2.5).
Segala urusan dan hubungan bisnis berlandaskan tipu muslihat

Mayaiva vyavaharike, keberhasilan dalam ber-bisnis ditentukan oleh akhlian tipu-menipu (Bhagavata Purana 12.2.3).
Panayisyanti vai ksudrah kiratah kuta-karinah, para pelaku bisnis berniaga secara licik dan memperoleh untung dengan cara menipu (Bhagavata Purana 12.3.25).

Para brahmana sibuk dalam urusan memuaskan perut dan kemaluan
Sisnodara para dvijah, mereka yang disebut para brahmana hanya sibuk dalam urusan memuaskan perut dan kemaluan (Bhagavata Purana 12.2.32).

Aturan hidup lembaga varna-asrama dharma dicampakkan
Lingam evasrama kyatau anyonyapatti karanam, tingkat kehidupan spiritual (asrama) seseorang ditentukan ber dasarkan ciri/simbul luar belaka. Dan berdasarkan ciri/simbul itu,seseorang beralih dari satu tingkat asrama ke tingkat  asrama berikutnya (Bhagavata Purana 12.2.4).

Avrato bhatavo’sauca bhiksavas ca kutumbinah tapasvino grama vasa nyasi’ tyartha lolupah, para  brahmacari  tidak melaksanakan vrata, pantangan-pantangan hidup dan hidup kotor/berdosa. Para grhastha mencari nafkah dengan cara meminta-minta/mengemis. Para vanaprashtha tinggal di desa, dan para sannyasi rakus pada kekayaan material dunia fana (Bhagavata Purana 12.2.33).

Manusia selalu berpikir keliru
Dure vary ayanam tirtham, tempat suci (tirtha) dimengerti sebagai suatu waduk kecil di tempat nan jauh (Bhagavata Purana 12.2.6).

Lavyanam kesa dharanam, kecantikan/ketampanan dimengerti bergantung pada model rambut seseorang (Bhagavata Purana 12.2.6).

Daksyam kutumba bharanam, orang yang mampu menghidupi keluarga disebut akhli (Bhagavata Purana 12.2.6).

Snanam eva prasadanam, seseorang merasa dirinya bersih (suci) hanya karena sudah mandi (Bhagavata Purana 12.2.5).

Kekuasaan dicapai melalui kekuatan
Brahma vit ksatra sudranam yo bali bhavita nrpah,siapapun diantara ke-empat golongan sosial (varna) manusia di masyarakat yaitu orang brahmana,  kshatriya,  vaisya dan sudra yang mampu memperlihatkan diri sebagai yang paling kuat, maka dia menjadi Raja/Kepala/Pemimpin negara  (Bhagavata Purana 12.2.7).

Rakyat menderita karena bencana alam, kelaparan, beban pajak, perang, penyakita dan kecemasan
Anavrstya vinaksyanti durbhiksa kara piditah, rakyat menderita sekali karena kemarau berkepanjangan, kelaparan meluas dan beban pajak amat memberatkan (Bhagavata Purana 12.2.9).

Dikatakan bahwa karena tidak mampu membayar pajak, bukan saja rumah dan harta miliknya disita, tetapi juga anak dan istri seseorang diambil dan dijadikan budak oleh sang Penguasa untuk melunasi tunggakan pajak. Dalam keadaan demikian dikatakan,”Acchina dara dravina yasyanti giri kananam, dengan kehilangan istri dan anak, orang-orang akan lari menyelamatkan diri ke hutan di gunung-gunung” (Bhagavata Purana 12.2.10).

Sita vatapata pravrd himair anyonyatah prajah ksut-trdbhyam vyadhibhir caiva sabta pasyante ca cintaya, rakyat amat menderita karena udara sangat dingin, angin berhembus amat kencang, panas matahari menyengat, hujan amat deras dan salju amat tebal. Mereka juga tambah sengsara karena perang, kelaparan, dahaga, penyakit dan kecemasan tiada henti (Bhagavata Purana 12.2.10).

Soka mohau bhayam dainyam, manusia (jaman Kali) selalu sedih, mengkhayal/bingung, takut dan hidup miskin (Bhagavata Purana 12.2.30).

Nityam udvigna manaso durbhiksa kara karsitah niranne bhutale rajan anavrsti bhayaturah vaso’nna pana sayana vyavaya snana bhusanaih hinah pisace sandrsa bhavisyanti kalau prajah, pada jaman Kali pikiran manusia selalu gelisah. Tubuh mereka kurus karena kelaparan dan beban pajak amat berat, dan mereka selalu dihantui rasa takut pada kemarau panjang. Mereka tidak cukup pakaian, tidak cukup makan dan minum, tidak cukup istirahat, tidak menikmati hubungan badan (sex) teratur, tidak pula mandi teratur dan tidak ada perhiasan menghias tubuhnya. Mereka akhirnya kelihatan seperti hantu menakutkan (Bhagavata Purana 12.3.39 – 40).

Wanita hidup bebas dan tidak suci
Svairinyas ca striyo’ satih, para wanita hidup tidak suci dan bebas bepergian kemana saja dan ber-gaul  dengan siapa saja (Bhagavata Purana 12.3.31).

Gata-hriyah sasvat katuka-bhasinyas caurya mayaru sahasah, para wanita kehilangan rasa malunya, berbicara kasar, berkelakuan seperti pencuri, suka menipu dan selalu menentang (Bhagavata Purana 12.3.34).

Veda dimengerti dengan pola pikir atheistik
Veda pasandi dusitah, kitab suci Veda dimengerti dengan pola pikir atheistik (Bhagavata Purana 12.3.32).

Kota-kota dikuasai para bandit
Dasyutkrsta janapada, kota-kota dikuasai oleh para bandit (Bhagavata Purana 12.3.32).

Sapi dibunuh untuk makanan
Gas capayasvinih, sapi dibunuh untuk makanan  jikalau  tidak lagi menghasilkan susu (Bhagavata Purana 12.3.36).

Majikan dan pelayan saling tidak setia
Patim tyaksyanti nirdravyam bhrtya apy akhilottamam bhrtyam vipannam patayah kaulam, pelayan meninggalkan si majikan yang telah kehilangan kekayaan, meskipun sang majikan adalah orang suci denga sifat-sifat tauladan. Sebaliknya, majikan memecat  pelayan yang tidak lagi mampu bekerja, meskipun si pelayan telah mengabdi kepada keluarga si majikan selama puluhan tahun (Bhagavata Purana 12.3.36).

Laki-laki dikendalikan wanita
Pitr-bhratr suhrj-jnatim hitvasaurata sauhrdah hanandr-syala samvada strainah kalau narah, pada jaman Kali, laki-laki bernasib malang dikendalikan wanita. Mereka tidak perduli kepada ayah, saudara, sanak keluarga dan sahabat. Sebaliknya, mereka intim dengan saudara lelaki dan saudara perempuan sang istri. Begitulah, pola persahabatan mereka semata-mata berlandaskan pada hubungan dengan sang istri (Bhagavata Purana 12.3.37).

Orang sudra menipu melalui praktek kerohanian
Sudrah pratigraha hisyanti tapo veso pajivinah, orang sudra menerima amal atas nama Tuhan dan mencari nafkah dengan berlagak seperti pertapa dengan berpakaian sannyasi (Bhagavata Purana 12.3.38).

Manusia menjadi amat individualistik
Na raksisyanti manusah sthavirau pitarau api putran bharyam ca kula jam, para lelaki tidak lagi melindungi orang-tuanya yang lanjut usia. anak-anaknya dan juga istrinya (Bhagavata Purana 12.3.42). Dengan kata lain, para lelaki hanya perduli pada keselamatan dirinya sendiri.

Alam dan manusia terkena polusi
Pumsam kali-krtam dosan dravya desatma sambhavam, pada jaman Kali barang-barang, tempat-tempat dan bahkan orang-orang pribadi terkena polusi (Bhagavata Purana 12.3.45).

Dikatakan bahwa polusi yang semakim mengganas
menyebabkan krsya-kayah, pisik sang manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan dan pohon semakim mengecil.
Ksiyamanesu dehesu dehinam kali dosatah, karena akibat buruk Kali-Yuga berupa polusi (dosah), badan jasmani segala makhluk akan menjadi semakim kecil (Bhagavata Purana 12.2.12).

Cchaga prayesu dhenusu, sapi akan menjadi sebesar kambing (Bhagavata Purana 12.2.14).
Anu prayesu osadhisu sami prayesu sthanusu, tanaman dan tumbuhan akan menjadi begitu kecil, dan pohon-pohon akan nampak seperti pohon sami kerdil (Bhagavata Purana 12.2.15).

Manusia melalaikan tuhan karena berwatak atheistik
Kalau na rajan jagatam param gurun tri-loka nathanatha pada pankajam prayena martya bhagavantam acyutam yaksyanti pasanda vibhinna cetasah, O sang Raja, pada jaman Kali kecerdasan manusia digelapkan oleh paham atheistik, dan mereka tidak menghaturkan yajna kepada Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa, Acyuta yang  merupakan  guru seluruh alam semesta. Meskipun para kepribadian mulia yang dikuasakan mengendalikan seluruh Tri-loka sujud pada kaki padma Beliau, tetapi manusia Kali-Yuga yang berpikiran picik dan hidup merana tidak mau berbuat begitu
(Bhagavata Purana 12.3.43).

Yan namadheyam mriyamana aturah patam skhalam va vivaso grnam puman vimukta-kamargala uttamam gatim prapnoti yaksyanti na tam kalau janan, diliputi rasa takut pada saat ajal menjelang, sang manusia pingsan diatas tempat tidurnya. Walaupun suaranya sudah tersendat-sendat dan dia sendiri sulit menyadari apa yang dirinya sedang katakan, tetapi jika dia mau mengucapkan nama suci Tuhan Yang Maha Esa, maka dia bisa  melepaskan  diri dari segala reaksi kegiatan pamerihnya yang berdosa dan mencapai alam rohani. Tetapi manusia Kali-Yuga ini tidak  mau  memuja Tuhan dengan cara demikian (Bhagavata Purana 12.3.44).

Kondisi hidup manusia menjelang kali-yuga berakhir
Ksiyamanesu dehesu dehinam kali dosatah, karena akibat buruk Kali-Yuga berupa polusi (dosah), badan jasmani segala makhluk akan menjadi semakim mengecil (Bhagavata Purana 12.2.12).

Varnasrama vatam dharme naste  veda pathe nrnam,  prinsip-prinsip dharma  para penganut lembaga Varna-Asrama lenyap, dan jalan kerohanian Veda sama sekali di-lupakan di masyarakat manusia (Bhagavata Purana 12.2.12).

Pasanda pracure dharme dasyu prayesu rajasu, apa yang disebut dharma (agama) adalah doktrin atheistik dan para Raja/Kepala/Pejabat negara semuanya berwatak pencuri (Bhagavata Purana 12.2.13).

Cauryanrta-vrtha himsa nanavrttisu vai nrsu, orang-orang cari nafkah dengan menjadi penipu, pencuri, bandit, jagal atau pelaku tindak kekerasan lain (Bhagavata Purana 12.2.13).

Sudra prayenu varnesu cchaga prayesu dhenusu, golongan sosial (varna) di masyarakat hampir semuanya merosot menjadi sudra, dan sapi menjadi sebesar kambing (Bhagavata Purana 12.2.14).

Grha prayesu agramesu yauna prayesu bandhusu, asrama-asrama kerohanian menjadi seperti rumah orang-orang meterialistik, dan hubungan keluarga menjadi terbatas sampai pada ikatan perkawinan saja (Bhagavata Purana 12.2.14).

Anu prayesu osadhisu sami prayesu sthanusu, tanaman dan tumbuhan menjadi berukuran kecil sekali, dan pohon-pohon nampak seperti pohon sami kerdil (Bhagavata Purana 12.2.15).

Vidyut prayesu meghesu sunya prayesu sadmasu, awan dan mendu ng dilangit penuh dengan kilatan cahaya petir, dan rumah-rumah penduduk hampa kegiatan rohani (Bhagavata Purana 12.2.15).

Tada niranne hy anyonyam bhaksyamanah ksudharditah, ketika Kali-Yuga menjelang berakhir, penduduk yang kelaparan (akibat kekeringan yang berkepanjangan), saling  bunuh  dan saling makan satu dengan yang lain (Bhagavata Purana 12.4.7).

Ittam kalau gata praye janesu khara dharmesu, begitulah ketika Kali-Yuga menjelang berakhir, hampir semua manusia menjadi seperti keledai (yaitu bodoh, malang dan menderita sekali)  (Bhagavata Purana 12.2.16).

Singkatnya, kelak ketika Kali-Yuga menjelang berakhir, manusia akan hidup seperti binatang saja. Mereka disebut dvi-pada-pasuh, binatang berkaki dua. Dengan berpegang pada adharma sebagai pedoman hidupnya, manusia tidak lagi mengenal etika, sopan-santun, tata-susila, moralitas atau budi pekerti.  Dikatakan,”Sva vid varahostra kharaih samsthutah purusah pasuh, manusia hidup seperti binatang dan dari antara mereka sendiri, mereka pilih yang (secara pisik) paling kuat jadi pemimpin” (Bhagavata Purana 2.3.19). Maka praktis manusia terbenam dalam samudra derita kehidupan material biadab dan berdosa

Rabu, 19 Oktober 2011

Wahyu Yang Diturunkan Dewa Wisnu

“Upaya menjaga keseimbangan, kedamaian dan kesejahteraan dunia”
Hamemayu Hayuning Bawana”

Apa yang dimaksud dengan Wahyu? Dalam kontek kebudayaan Jawa, wahyu diartikan sebagai sebuah konsep yang mengandung pengertian suatu karunia Tuhan yang diperoleh manusia secara gaib. Wahyu juga tidak dapat dipaksakan, tetapi hanya diberikan oleh Tuhan melalui berbagai media kepada seseorang yang pinilih atau terpilih, yakni orang-orang yang memenuhi syarat dalam hal budipekerti dan perbuatannya kepada sesama manusia dan seluruh makhluk, sehingga terbuka cakra mahkotanya. Bagi yang memenuhi syarat, ia dapat menambah upaya dengan melakukan upaya dengan melakukan mesuraga dan mesu jiwa dengan jalan tirakat, bersemadi, bertapa dan berbagai jalan lain yang berkonotasi melakukan laku bathin. Tapi tidak setiap kegiatan laku bathin itu akan mendapatkan wahyu, selain atas kehendak atau anugrah Tuhan Yang Maha Esa. (Sedangkan wahyu menurut kamus Purwadarminta  mempunyai pengertian suatu petunjuk Tuhan atau Ajaran Tuhan yang perwujudannya bisa dalam bentuk mimpi, ilham dan sebagainya. (Dalam dunia pewayangan, banyak lakon wayang yang berjudul wahyu, hal ini menerminkan bahwa masyarakat Jawa penggemar wayang menaruh minta yang cukup besar terhadap nilai spiritual yang terkandung dalam kisah atau lakon wayang yang akan dapat memberikan pengetahuan rohani dan spiritual serta memperluas wawasan di bidang kejiwaan Adapun beberapa lakon wayang berkaitan dengan wahyu antara lain lakon-lakon : Wahyu Purba, Wahyu Sejati, Wahyu Cakraningrat, Wahyu Senapati, Wahyu Toh Jali, Wahyu Cengkir Gading dan yang cukup dikenal adalah Wahyu Makutarama. (Disebutkan dalam Kitab Babad Tanah Jawa, bahwa turunannya Wahu digambarkan sebagai cahaya terang bagaikan bulan bisa juga berujud gumpalan cahaya atau seberkas sinar putih yang jatuh dari angkasa dan menyatu dalam tubuh seorang manusia yang sedang mesu raga dan mesu jiwa, apakah dalam bentuk semadi atau bertapa. Sedangkan dalam lakon wayang tanda-tanda akan turunnya wahyu diperoleh manusia berupa wangsit oleh seorang brahmana atau pendeta dalam pengertian ini adalah orang yang sudah bersih jiwanya melalui mimpi, wangsit yang diterima itu lalu diberitahukan kepada orang lain, dalam hal ini biasanya orang yang sedang berguru atau menuntut ilmu kepadanya, atau kepada orang lain agar bagi mereka yang ingin memperoleh Wahyu lalu melakukan tirakat Iahir bathin, apakah dengan jalan menyepi di dalam sanggar pemujaan atau bertapa di dalam hutan. Namun keputusan siapa yang akan memperoleh wahyu, sepenuhnya berada di tangan Sang Maha Pencipta. Sedangkan manusia hanya bisa sekedar berusaha.

Dalam cerita pewayangan, wahyu-wahyu itu diturunkan oleh dewa dan kebanyakan dilakukan oleh Bathara Wisnu, kecuali Wahyu Cakraningrat oleh Bathara Kamajaya dan Bathari Ratih, istrinya. Kenapa mesti sebagian besar wahyu diturunkan oleh Bathara Wisnu? Hal ini karena Bathara Wisnu merupaka dewa keabadian ini ditunjukan denga kulit tubuhnya yang berwarna hitam yang merupakan lambang keabadian atau sebagai dewa Kesejahteraan. Karena tugasnya mensejahterakan dunia, maka apabila dunia dikacaukan oleh keangkaramurkaan, maka menjadi tugas Bathara Wisnu pernah menjelma/menitis menjadi ; Matswa (ikan) untuk membunuh raksasa Hargraiwa yang mencuri kita Weda. Menjadi Narasinga (orang berkepala harimau) untuk membinasakan Prabu Hiranyakasipu, berupa Wimana (orang kerdil) untuk mengalahkan Ditya Bali.  Bathara Wisnu juga menitis pada Ramaparasu untuk menumpas para gandarwa, menitis pada Arjunasasra/Arjunawijaya untuk mengalahkan Prabu Dasamuka. Menitis pada Ramawijaya untuk membinasakan Prabu Dasamuka, dan terakhir menitis pada Prabu Kresna untuk menjadi parampara/penasehat agung para Pandawa guna melenyapkan keserakahan dan kejahatan yang dilakukan oleh para Kurawa.
Sanghyang Wisnu juga pernah turun ke Arcapada menjadi raja Negara Medangpura bergelar Maharaja Suman untuk menaklukan Maharaja Balya, raja Negara Medanggora penjelmaan Bathara Kala. Menjadi raja di Negara Medangkamulan bergelar Prabu Satmata, untuk menaklukan Prabu Watugunung yang bertindak keliru dan nyasar mengawini ibunya sendiri.
Adapun wahyu-wahyu yang diturunkan oleh Bathara Wisnu kepada umat di marcapada dan maknanya antara lain :

WAHYU PURBA
            Kata Purba, menurut kamus Purwadarminta mempunyai arti memelihara. Wahyu Purba mempunyai pengertian, Wisnu atau kebenaran Illahi itu bersifat memelihara, Ini suatu pelajaran hidup  yang mengandung ajaran bahwa di dalam kehidupan alam semesta dengan segala isinya termasuk juga manusia, semua dipelihara oleh kebenaran Illahi. Dimana kehidupan alam semesta dan manusia akan mengalami keselarasan, keselamatan, ketenteraman, kebahagiaan dan kesejahteraan apabila nilai kebenaran bisa dihayati dan ditegakkan dengan baik dan benar. (Namun kenyataannya manusia percaya bahwa hidup ini dipelihara oleh kebenaran Illahi atau kebenaran Tuhan, masih juga terdapat ketidakbenaran dan kejahatan yang dapat menimbulkan kekacauan dan mengganggu keselarasan, kebahagiaan, ketentraman dan kesejahteraan. Semua itu terjadi sebagai akibat terjadinya pelanggaran terhadap hukum kebenaran. (Untuk memelihara ketenteraman dan kesejahteraan dunia maka dewa Wisnu turun ke dunia menitis pada Prabu Arjunawijaya (Arjunasasrabahu) raja Negara Maespati, dan kepada Ramawijaya, raja Negara Ayodya.

WAHYU SEJATI
            Sejati berarti ada, nyata, yang  tunggal atau tidak dualistis. Wahyu Sejati berarti suatu kebenaran yang bersifat tunggal. Artinya bahwa kebenaran itu tidak memiliki sifat ganda atau berpasangan yang terdiri dari dua hal yang berbeda sifatnya atau berlawanan, seperti terang dengan gelap, benar dan salah, putih dan hitam atau merah, dan lain sebagainya. (Ini suatu pelajaran hidup bahwa di dalam kehidupan alam semesta dan isinya, termasuk manusia, hanya terdapat satu kebenaran, yaitu Kebenaran sejati, yaitu kebenaran Illahi. Apabila manusia hidup dalam kaidah-kaidah ajaran kebenaran yang sejati, maka kehidupan manusia akan memperoleh kedamaian, kekegotong-royongan yang dapat menumbuhkan sifat toleransi atau saling membantu dan saling menghormati. (Namun kenyataannya dalam menjalankan kehidupannya manusia masih mengulur-ulur nilai-nilai kehidupannya dengan ukuran yang tidak menentu. Kadang-kadang mengulur sesuatu dengan kebenaran Illahi, tetapi kadang-kadang mngukur suatu tindakan selaras dengan kepentingannya sendiri. Akibatnya tatanan kehidupan menjadi tidak menentu, kacau dan saling merugikan pihak lain. Timbulah kemudian sifat keserakahan dan keangkaramurkaan. (Untuk memulihkan dan memelihara keseimbangan kehidupan di dunia, maka dewa Wisnu turun ke marcapada menitis pada ramaparasu, putra Resi Jamadagni dari pertapaan Dewasana, dan kemudian menitis pada Lesmana, adik satu ayah Ramwijaya. (Wahyu sejati atau Wisnu yang menitis pada Ramaparasu adalah bertugas mengembalikan ketenteraman dunia sebagai akibat dari perbuatan keserakahan yang dilakukan oleh Raja Hehaya dengan perbuatannya merampas hak dan kemerdekaan orang lain. Raja Hehaya bukan saja telah membunuh para brahmana, termasuk Resi Jamagani ayah Ramparasu dan merampas harta miliknya, tetapi juga merampas harta rakyat. (Sedangkan Wahu Sejati yang menitis pada Lesmana merupakan pasanhan dari Wahyu Purba yang menitis pada Ramawijaya. Seperti kita ketahui antara Rama dan Lesmana sebenarnya selalu hidup berpasangan, bekerja sama membasmi segala bentuk kejahatan. Hal ini menunjukan bahwa Wahyu Purba dan Wahyu Sejati atau kebenaran Illahi yang bersifat memelihara dengan kebenaran Illahi yang bersifat tunggal, berhubungan erat sekali.

WAHYU WASESA
            Wasesa berarti mempunyai kekuasaan, berkuasa, mengatur atau menguasai. Wahyu Wasesa berarti suatu kebenaran Illahi yang bersifat mengatur atau menguasai. Ini mengandung makna bahwa di dalam kehidupan alam semesta dan isinya, termasuk manusia diatur dan dilakukan oleh kekuasaan Illahi. Tegasnya satu-satunya pengatur dan pemerintah alam semesta dan isinya termasuk manusia adalah kekuasaan Tuhan. (Apabila semua manusia berpegang pada kaidah ini , maka manusia idupo tidak perlu harus merasa takut pada kekurangan, menderita, mengalami ketidak adilan, kehilangan kemerdekaan atau kebebasan. (Tetapi didalam kenyataannya sadar atau tidak sadar manusia masih percaya, bahwa hidup ini selain dikuasai oleh kebaikan atau kebenaran Illahi, masih bisa dikuasai oleh kejahatan. Bahkan kadang-kadang manusia takut dan taat kepada kejahatan daripada kebenaran illahi. (Ajaran yang terkandung dalam Wahyu Wasesam uakag syaty ajaran yang mengingatkan kepada kita semua agar bisa selalu sadar  bahwa hidup ini ada yang mengatur dan menguasai. Wahyu Wasesa adalah Wisnu yang menitis kepada Sri Kresna, yang dengan kekuasaanya bertindak sebagai penjaga keseimbangan ketenteraman dan kesejahteraan dunia. Kedudukan Sri Kresna di sini hanyalah sebagai penasehat Agung pada satria penegak kebenaran yaitu para satria Pandawa.

WAHYU LUWIH ATAU LINUWIH
            Menurut kamus Purwadarminta, Luwih atau linuwih mengandung arti : lebih, langkung atau pancuran. Wahyu Luwih adalah Wisnu atau kebenaran Tuhan yang bersifat memancar. Ini suatu pelajaran hidup bahwa kehidupan alam semesta berikut isinya, termasuk manusia, pada hakekatnya merupakan pancaran atau pernyataan hidup atau Tuhan sebagai sumber hidup. Seumpama air adalah sumber hidup, maka air yang mangalir dari sumber itu adalah pancarannya.(Wahyu Luwih memberi pelajaran hidup kepada kita agar disadari bahwa tujuan dan kewajiban hidup manusia di dunia adalah mencerminkan atau memancarkan sifat Khaliknya yaitu Tuhan YME. Semakin banyak manusia mencerminkan sifat Tuhan dalam hidupnya, maka akan semakin kaya manusia memiliki berkah dan kasih saying Tuhan. Antara Wahyu Wasesa dengna Wahyu Linuwih sebenarnya masih merupakan satu kesatuan, ibarat air dengan pancurannya. Ibarat Matahari, Wahyu Wasesa adalah mata harinya, sedangkan Wahyu Luwih adalah pancarannya. (Wahyu Luwih adalah ajaran Wisnu yang diterima oleh Arjuna, karena itu antara Sri Kresna dan Arjuna selalu hidup berdampingan dalam tugas kewajiban memayu hayuning bawana. Ibarat Api, Sri Kresna adalah apinya, sedangkan Arjuna merupakan cahaya terangnya.

WAHYU MURTI
            Murti menurut kamus Jawa/Kawi mempunyai arti ; amor, menyatu/bersatu, gumolong, tunggil, linangkung, utuh dan semesta. Jadi Wahyu Murti mengandung arti ajaran Wisnu yang bersifat gumolong, utuh dan semesta. Ini suatu ajaran bahwa hidup alam semesta dan isinya termasuk manusia merupakan satu kesatuan yang utuh yang antara satu dengan yang lainnya tidak bisa dipisahkan. Karena yang satu merupakan bagian dari yang lain.(Karena alam dan isinya merupakan satu bagian yang utuh, maka menjadi kewajiban kita manusia untuk menjaga keseimbangan alam. Menciptakan kedamaian dan kesejahteraan, serta memelihara keselarasan.(Wahyu Murti adalah ajaran Wisnu yang diberikan kepada Gunawan Wibisana. Karena itu Gunawan Wibisana selalu berusaha untuk ikut menjaga keseimbangan dan keselarasan dunia. Berkali-kali ia memperingatkan Rahwana, kakaknya, agar mengembalikan Dewi Sinta kepada Prabu Rama demi keselamatan Negara Alengka, karena Prabu Rama sesungguhnya satria penjelmaan dewa Wisnu.(Karena Wibisana dengan Wahyu Murtinya merupakan bagian daripada Wisnu, maka ketika ia akan menduduki tahta kerajaan Alengka setelah berakhirnya perang Alengka. Prabu Rama melengkapinya dengan ajaran Hastabrata dengan tujuan agar Gunawan Wibisana menjadi seorang raja yang arif bijaksana, dicintai dan mencintai rakyatnya serta mampu menciptakan kesejahteraan, kedamaian, ketenteraman hidup bagi rakyatnya.

WAHYU MAKUTHA RAMA
            Wahyu Makutha Rama pada hakekatnya merupakan inti sari dari keseluruhan wahyu yang diturunkan oleh Dewa Wisnu yang merupakan gabungan dari inti sari Wahyu Purba, Wahyu Sejati, Wahyu Wasesa, Wahyu Luwih dan Wahyu Murti. Karena itu Wahyu Makutha Rama merupakan wahyu yang terakhir dari Dewa Wisnu sebab setelah mengajarkan Wahyu Makutha Rama kepada Arjuna dalam perwujudannya sebagai Bagawan Keswasidhi di Gunung Kutarunggu, dan berakhirnya perang Bharatayuda dengan musnahnya keluarga Kurawa yang merupakan lambang angkara murka, Dewi  Wisnu tidak turun lagi ke Marcapada.

sumber : sabdalangit

Senin, 10 Oktober 2011

SUNGGUH MENGGODA

Sungguh menggoda melihat apa yang kau miliki dan tidak kau miliki, dan berpikir, "pastilah seharusnya begitu." "aku ada disini karena alasan tertentu". Dan sampai pada tingkat tertentu, kau benar. Coba untuk hening sejenak; kau ada ditempatmu saat ini karena pikiran-pikiran yang dulu (atau masih ) kau pikirkan, jadi kau ada di tempatmu saat ini untuk belajar beginilah cara kerja hidup BUKAN karena seharusnya begitu. 

Jangan  menyalahkan dayamu kepada logika yang samar atau misterius. Esok adalah halaman kosong dalam hal orang-orang, pekerjaan, bermain, karena mereka semua harus dibuat olehmu, lalu kau akan merasakan lagi bahwa memang seharusnya begitu, terlepas dari siapa atau apa yang telah kau tarik ke dalam hidupmu. 

Tidak ada yang seharusnya begitu, kecuali kebebasanmu untuk memilih dan dayamu untuk mencipta.

satu hal yang aku mengerti; PILIHLAH HAL-HAL BESAR DAN BERBAHAGIALAH.  


-=tj=-

REALITA PIKIRAN

Aku akan memainkan pikiran bahwasanya; saat ini dan hari ini-sepanjang hari seluruh pikiran dan keputusan hidup itu mudah dan melihat sekelilingku bahwa mereka adalah individu yang baik, individu yang memberikan jalan  baik dan tulus. Tidak lupa pula ku mainkan pikiran bahwasanya waktu sangat berpihak padaku, apakah ada yang ku lupakan ? tentunya tidak.

Aku akan  perankan permainan dimana  semua jalan terbentang lebar sebagaimana halnya lautan dan samudra yang luas aku akan memerankan pikiran ini menjadi satu dengan langit dan bumi dimana setiap tawa yang kulihat adalah kebahagiaan, tangisan yang kulihat hanya ungkapan iklas atas setiap kebahagiaan yang diterima, Pikiran kamu setujukan ? 

Dan pikiran marilah kita berpura-pura bahwasanya aku ini hebat, luar biasa, dimana persekongkolan kita akan menghasilkan lebih banyak hal yang memberikan kebaikan dan kebahagian, dan pikiran kita pun mesti bekerja sama bahwasanya tidak ada yang mampu menyakiti kita tanpa seijin dari persekongkolan ini, ya tidak ada yang mampu menyakiti dan kita tidak memberikan sedikitpun waktu pada yang ingin menyakitiku. 
Jika permainan ini mengasyikkan, kita akan lakukan lagi esok hari- esok harinya kembali dan kembali pada hari berikutnya hingga permainan peran ini benar-benar menjadi seperti itu, PERSIS SEBAGAIMANA HARI INI MENJADI MUDAH seperti hari-hari sebelumnya.


Aku yakin kamu dan aku adalah pasangan yang serasi dan aku tahu bagaimana kekuatan pikiran bisa menjadi kenyataan. 


Salam ku pada kekuatanmu (pikiran) 

 

Minggu, 02 Oktober 2011

PANEMBAHAN SENOPATI (II)

PUPUH MIJIL

1. Dhuh mas mirah aja sumlang ati, titenana ingong, lamun supe marang sira angger, marcapada myang dêlahan yayi, nggon-ingsun mangabdi, ditulus sihipun.

Aduh emas merahku janganlah gundah dihati, buktikanlah, aku tidak akan lupa kepadamu, dari hidup sampai mati yayi (dinda), pengabdian cintaku, tulus dan murni.
2. Nadyan ingsun pas wus sugih krami, tur sami yu kaot, gênging trêsna wus tan liya angger, ingkang dadi têlêng ingsun kang sih, mung andika Gusti, nggen sun ngawu-awu.

Walaupun aku banyak memiliki istri, yang sangat cantik-cantik, besarnya cintaku hanya untukmu, yang menjadi cinta utamaku, hanya kamu Gusti (Ayu), aku benar-benar tergila-gila.

3. Malawija neng jro tilam sari, tan lêngganing pangkon, mung pun kakang timbangana angger, ingsun yekti anandhang wiyadi, dereng antuk jampi, tan lyan sira masku,

(Tidakkah kau lihat) besarnya hasratku diatas ranjang kepadamu, tak lepas-lepas aku memangkumu, hanya saja aku meminta buktikan cintamu, pastilah aku akan tetap menderita sakit, yang tak mendapatkan penyembuhan, hanya kamu obat penyembuhku.

4. Ambirata rêntênging tyas kingkin, satêmah sun-antos, nadyan kinen laju jrak neng kene, tan suminggah sakarsa mêstuti, nging kapriye yayi, solahe wadyengsun.
Lenyapkanlah gundahnya hati yang menderita, sungguh aku nantikan, walau harus aku menunggu disini, aku akan melakukannya, akan tetapi bagaimana yayi (dinda), dengan para rakyatku?

5. Narpaning Dyah tyasnya lir jinait, kapraneng pamuwos, kemanisen kakung pangrengihe, dadya luntur sihira Sang Dewi, mring kakung lon angling, Pangran nuwun tumrun.
Bagaikan tertusuk jarum pemintal hati Ratu Wanita, terperangah oleh kata-kata, ucapan manis sang pria (Panembahan Senopati) yang manis, merebaklah cinta Sang Dewi sepenuhnya, kepada Sang pria (Panembahan Senopati0 pelahan dia berkata, Turunkan aku Pangeran.
6. Sing ngêmbanan wus tumrun Sang Dewi, long lênggah sêkaron, malih Sang Dyah matur mring kakunge, Pangran nuwun ngapuntên kang cêthi, dene kumawani, dosa gungan kakung.

Sang Dewi telah turun dari pangkuan, pelan duduk berjajar, berkata lagi Sang Dyah kepada Sang pria (Panembahan Senopati), Mohon maafkan hamba, karena telah berani, kepada seorang pria yang hamba berbakti kepadanya.
7. Datan langkung panuwuning cêthi, sih trêsnanya yektos, sampun siwah putra wayah tembe, tinulusna darbe cêthi mami, kakung ngrakêti ngling, Dyah ingras pinangku.

Tiada lain permintaan hamba, hanyalah kesungguhan cinta, jangan sampai terputus hingga anak cucu kangmas nanti, seterusnya menjadi kekasihku, Sang pria (Panembahan Senopati) memeluk sembari berkata, dan memangku kembali serta menciumi mesra.
8. Ya mas mirah aja sumlang galih, sok bisaa klakon, malih Sang Dyah matur mring kakunge, Nggih Pangeran yen wus mangguh wêsthi, praptanireng jurit, mrih enggal lun tulung.

Baiklah emas merahku janganlah ragu, kelak pasti akan terjadi, lagi Sang Dyah berkata, Terima kasih Pangeran apabila tengah menghadapi bahaya, ditengah peperangan, agar supaya saya bisa secepatnya membantu.
9. Magut Sang Dyah kakung lon winangsit, ubayaning têmon, Sêdhakêpa myang mêgêng napase, anjêjaka kisma kaping katri, yêkti amba prapti, ngirit wadya lêmbut.

Sang Dyah mendekatkan wajahnya kepada sang pria (Panembahan Senopati) sembari pelan memberikan petunjuk, sebagai akhir pertemuan mereka, Bersendekaplah kangmas sembari menahan nafas, jejakan kaki ketanah sebanyak tiga kali, pastilah hamba akan datang, bersama para prajurid makhluk halus.
10. Lawan amba atur araneng jurit, mrih dibya kinaot, Tigan Lungsung Jagad nggih namine, dhinahara gung sawabe ugi, panjang yuswa yêkti, kyating sara timbul.

Dan hamba haturkan agar senantiasa unggul dalam peperangan, agar supaya sakti tak terkalahkan, sebutir Telur bernama Lungsung Jagad, makanlah akan besar khasiyatnya, panjang usia, kekuatan tersembunyi akan timbul.
11. Lawan Lisah Jayengkatong nami, dewa kang sih mring ngong, kalih sampun ngaturkên kakunge, Senapati sawusnya nampeni, langkung trustheng galih, antuk sraneng pupuh.
Dan juga Minyak bernama Jayengkatong, pemberian Dewa kepada hamba. Kedua benda telah dipasrahkan kepada Sang pria (Panembahan Senopati), (Panembahan) Senapati setelah menerima, sangat gembira dihati, karena mendapat sarana ampuh untuk keunggulan dalam perang.

12. Malih Sang Dyah mangsit marang laki, ngelmining keraton, mrih kinedhêp mring lêlêmbut sakeh, Senapati wus kadriyeng wangsit, wusana Sang Dewi, ngrakêt wêcêng kakung.

Kembali Sang Dyah memberikan petunjuk kepada sang pria (Panembahan Senapati), Ilmu Keraton Pantai Selatan, agar supaya disegani, seluruh makhluk halus, (Panembahan) Senapati telah memahami semua petunjuk, setelah itu Sang Dewi, memeluk eraterat Sang pria (Panembahan Senopati).
13. Dhuh Pangeran yen marengi karsi, ing panuwun ingong, sampun age-age kondur mangke, wilangun lun yekti dereng dugi, paran polah mami, yen paduka kondur.

Aduh Pangeran jika bersedia, memenuhi permintaan hamba, tundalah kepulangan kangmas, menurut hamba belum saatnya, bagaimana dengan saya nanti, apabila paduka pulang sekarang?

14. Raka ngimur mrih lipuri yayi, Adhuh mirah ingong kang sih trêsna marang ing dasihe, myang sak jarwa wus sun trima yayi, nging sun mêksa amit, mêgat oneng masku.
Sang Raka (Kanda) menghibur hati Sang Yayi (Dinda), Aduh emas merahku, cinta kasihku sudah jelas kamu buktikan, bahkan petunjukmu telah aku terima yayi (dinda), bagaimanapun juga aku memaksakan diri untuk pamit, berpisah dengan engkau emas merahku.

15. Aja brangta mirah wong akuning, lilanana ingong, ingsun kondur mring Mataram prajeng, nora lama mêsthi nuli bali, mring Pureng Jêladri, tuwi dika masku,

Jangan tersedihkan oleh karena rindu emas merahku, relakanlah aku, pulang ke Kerajaan Mataram, tidak akan lama aku pasti kembali, ke Istana Samudera, menemui engkau oh emasku.
16. Saking labêt datan bêtah mami, pisah lan mas ingong, sangking wrate wong mêngkoni prajeng, Sang Dyah ngungsêp pangkyan ngling ing laki, Pangran sampun lami, nggih nuntêna wangsul.

Sungguh sebenarnya tidak tahan aku, berpisah dengan emasku, hanya karena berat tanggung jawab seorang Raja yang memiliki kepala ke pangkuan dan berkata, Jangan terlalu lama oh Pangeran, segeralah kembali.

17. Dugi nggusthi mêgat onenging sih, gya mijil sang anom, Ratu Kidul ndherekkên kondure, asarimbit kêkanthen lumaris, rawuh Srimanganti, gya kakung nglingnya rum.

Dan pada akhirnya waktu perpisahan tiba, segera keluar Sang Anom (Muda), Ratu Kidul melepas kepulangannya, beriringan sembari bergandeng tangan, tiba di Srimenganti, segera sang pria (Panembahan Senopati) berkata manis.

18. Wus sun trima sih-ira mas yayi, nggennya ngatêr mring ngong, among ingsun minta sih-ira-ngger, srana tumbal usadaning kingkin, Sang Dyah manglêgani, sih katrêsnane kakung.

Sudah cukup aku terima bakti cintamu yayi (dinda), dengan mengantarkan kepergianku, sebelum berpisah aku minta bukti cintamu sekali lagi, sebagai tumbal terampuh untuk mengobati kerinduanku. Sang Dyah menuruti, permintaan Sang pria (Panembahan Senapati).

19. Atur gantyan manglungkên sing lathi, tinampen waja lon, gêrêgetan ginigit lathine, Sang Dyah kagyat Raka sru pinulir, purna kang karon sih, sewangan lêstantun.
Segera pasrah menyediakan bibir indahnya, bertaut bibir dan gigi pelan, gemas digigit bibir ranumnya, Sang Dyah terkejut namun segera membalas ciuman, selesailah yang tengah dimabuk cinta, lantas berpisah.
20. Senapati praptanireng njawi, puranya Sang Sinom, sirna wangsul keksi samodrane, Senapati nggenya napak warih, lir mangambah siti, tinindakkira laju.
(Panembahan) Senopati telah sampai diluar, istana Sang Awet Muda (Kangjeng Ratu Kidul), sirna seketika wujud istana dan berganti samudera, (Panembahan) Senapati saat menapaki air laut, bagaikan berjalan ditanah rata, dia berjalan terus.

21. Senapati sak praptaning gisik, wêspadeng pandulon, kang pitêkur neng Parangtritise, wus saestu lamun Guru yêkti, niyakaning Sunan Adilangu.
Sesampainya (Panembahan) Senopati dipesisir pantai, waspada seketika, manakala melihat siapa yang tengah bertafakur di pantai Parangtritis, jelas terlihat adalah Sang Guru, tak lain adalah Sunan Adilangu (putra Sunan Kalijaga).

22. Senapati gepah nggen mlajengi, mring Guru sang kaot, prapta laju, mangusweng padane, pamidhangan ngasta mring Sang Yogi, luwarnya ngabekti, lengser lenggah bukuh.
Cepat (Panembahan) Senapati berlari, mendekati Sang Guru yang mulia, bersujud dikakinya, lantas mencium tangan Sang Yogi, selesai berbakti, segera duduk bersila takjim.

23. Sunan Adi gya ngandika aris, Jêbeng sokur ingong, lamun sira katêmu neng kene, sabab ingsun arsa anjarwani, pratingkah kang yêkti, mrih arjaning laku.
Sunan Adilangu segera berkata pelan, Anakku sangat bersyukur diriku, bisa bertemu denganmu disini, sebab aku memang ingin memberikan nasehat kepadamu, tentang perbuatan yang patut, agar selamat senantiasa dirimu.

24. Sira sinung digdaya lan sêkti, ngluwihi sagung wong, sun prêlambang samodra pamane, kita ambah tan têlês kang warih, lir dharatan ugi, tyasnya aja ujub,

Dirimu diberi anugerah digdaya dan sakti, melebihi manusia umumnya, terbukti ditengah samudera, kamu berjalan diatasnya tanpa terbasahi oleh air sedikitpun, bagaikan kamu berjalan di daratan, walau begitu janganlah sombong.

25. Riya Kibir Sumêngah tan keni, sêgahe Hyang Manon, Nabi Wali Oliya sêdene, yen nêraka tuk sikuning Widdhi, karseng Hyang Piningit, bab catur piyangkuh. Riya’ (Pamer) Kibir (Sombong) congkak itu semua tidak sepatutnya,

larangan Hyang Manon (Yang Maha Agung), juga larangan para Nabi Wali dan Auliya’ semua, akan mendapatkan neraka sebagai kutuk Hyang Widdhi, begitulah larangan Yang Maha Tersembunyi, tentang keangkuhan.

26. Wong gumêdhe anglungguhi kibir, sapa padha lan ngon, larangane Hyang Sukma Kang Murbeng, kibir riya piyangkuhing jalmi, mrih ngalêma luwih, keringan sawêgung.
Manusia yang merasa tinggi dan sombong, siapa yang bisa menandingi aku, benar-benar larangan Hyang Suksma (Yang Maha Samar) Sang Penguasa Sejati, kesombongan, suka pamer serta keangkuhan, agar supaya dipuji lebih dari yang lain, lebih terkenal dari sesama.
27. Amêmadha marang ing Hyang Widdhi, wong pambêg mengkono, kalokeng rat mring praja liyane, ujubira piyangkuh ngêngkoki,

gawoka kang ngeksi, lumaku gumunggung. Seolah-olah mempersamakan dirinya dengan Hyang Widdhi, manusia yang seperti itu, terkenal di dunia dan kerajaan lainnya, keangkuhan dan ingin memperlihatkan dirinya terus menjadi, agar supaya kagum yang melihat, agar supaya senantiasa dipuji-puji.
28. Sak solahe was tan darbe maning, mung lêgane batos, sakeh patrap ja mêngkono jêbeng, Senapati tuhunên kang kapti, lan sun plambang maning, kan tan lungguh ngelmu
Setiap tindakan sudah tidak memiliki pertimbangan, hanya menuruti kepuasan diri sendiri, janganlah seperti itu anakku, ingatlah akan tujuan hidup yang sesungguhnya oh Senapati, dan aku nasehatkan satu hal lagi, bahwa manusia yang benar-benar memegang ilmu.

29. Aja sira pambêg kaya langit, bumi gunung argon, lan samodra plambang patrap kabeh, pan ya kaki pambêganing langit, saengganing jalmi, ngêndêlkên yen luhur.
Janganlah bersikap seperti langit, seperti bumi seperti gunung, dan seperti samudera, yang dimaksud bersikap seperti langit, adalah seorang manusia, yang mengandalkan keluhurannya.
30. Bumi kandêl jêmbare ngluwihi, dwi lir pambêging wong, wus tan ana mung iku dayane, myang kang gunung digung gêng inggil, sagra jro tirtaning, gurnita kang alun,

Jangan bersikap seperti bumi yang tebal dan luasnya melebihi apapun, jikalau manusia, bersikap seolah tidak ada lagi yang melebihi luasnya kekuasaannya, bersikap seperti gunung merasa besar dan tinggi, bersikap seperti samudera merasa paling dalam pengetahuannya, dan merasa paling dahsyat ombaknya.
31. Ngêndêlakên digdayane sami, bumi samodra rob, langit arga pambêg jalma kabeh, wus tan ana polataning maning, sisip pambêg jalmi, kurang jêmbar kawruh.
Semua mengandalkan kedigdayaannya, bumi dan samudera, langit dan gunung adalah seumpama watak-watak jelek manusia, sudah tiada kebaikannya lagi, sesat kelakuan manusia yang seperti itu, kurang luaslah wawasannya.
32. Yen sira yun wigya dadi Aji, mangreh sagunging wong, aja pêgat istiyarmu jêbeng, laku pasrah mring Kang Murbeng Bumi, neng musik di-êning, mrih uning Sukma Gung.
Jikalau kamu menginginkan untuk menjadi Aji (Raja), menguasai seluruh orang, jangan pernah putus usahamu anakku, senantiasa berpasrah kepada Yang Maha Menguasai Bumi, heningkanlah segala keliaran batinmu, agar supaya bisa mengetahui Suksma Agung (Maha Samar Yang Agung).

33. Ginampangan sêka karseng Widdhi, di-têrang pandulon, aja sêrêng sak pêkoleh bae, ngibadaha nglungguhana gami, nging driya di eling, mrih manise wadu.



Pastilah akan gampang terwujud apa yang kamu kehendaki atas kehendak (Hyang) Widdhi, buatlah terang penglihatan kesadaranmu, jangan suka bertindak seenaknya, perbanyak ibadah penuhilah perintah agama, dalam hati senantiasa diingat, agar manis jalan hidupmu. 




PUPUH DHANDHANGGULA

1. Lawan jêbeng ya sun tanya yêkti, antuk apa sira sêka sagra, Senapati lon ature, Inggih binêktan ulun, Tigan Lungsung Jagat ken nêdhi, lan Jayengkaton lisah, dwi sêrana katur, Sang Wiku wrin lon dêlingya, Katujone durung kongsi sira bukti, yen wis-a dadi apa.

Dan lagi anakku sungguh aku ingin bertanya, apa yang kamu dapatkan dari tengah samudera? (Panembahan) Senopati menjawab pelan, Yang saya peroleh, Telur Lungsung Jagad yang harus saya makan, dan Minyak Jayengkatong, kedua benda dihaturkan, Sang Wiku melihat dan berkata, Untunglah belum sempat kamu pakai, jikalau sudah kamu pakai aku tak bisa membayangkan akan menjadi apa kamu?

2. Têmah antuk sêngsareng ngaurip, yêkti wurung sira dadi Nata, nggonirarsa mêngku ngrate, sida neng samodra gung, datan bisa mulih Matawis, de wadyanta tan wikan, myang garwa putramu, labête wus salin tingal, kita dadi jodhone Ni Kidul mêsthi, sabab nir manungsanya.

Hanya akan mendapatkan kesengsaraan hidup, akan gagal keinginanmu untuk menjadi Raja, gagal impianmu menguasai dunia, kamu akan tinggal di dalam samudera, tidak akan bisa pulang ke Mataram, seluruh rakyatmu tidak akan bisa melihatmu, begitu juga istri dan anakmu, karena sudah berganti alam, menjadi pasangan Ratu Kidul, hilanglah wujud manusiamu.

3. Maneh jêbeng sun tanya kang yêkti, sira rêmên marang narpaning dyah, kaya ngapa suwarnane, Senapati lon matur, Wananipun ayu nglangkungi, sak tuwuk dereng mriksa, kêng kadya Dyah Kidul, Sang Wiku mesêm ngandika, Kêsamaran kita jêbeng Senapati, kêna ngayu sulapan.

Dan lagi aku sungguh-sungguh bertanya, kamu jatuh hati kepada Ratu Wanita, bagaimanakah wujudnya? (Panembahan) Senopati menjawab pelan, Wujudnya sangat cantik, seumur hidup belum pernah hamba melihat, wanita secantik Dyah Kidul, Sang Wiku tersenyum dan berkata, Engkau jatuh cinta, terpikat wujud cantik yang sesungguhnya hanyalah sihir belaka.

4. Sabab sira durung sidik ngeksi, nguni sun wus namun manjing Pura, Dyah supine ya sun colong, neng jênthik driji Sang Rum, iki warna dêlêngên kaki, kagyat Sang Senapatya, nggenira andulu, de supe langkung gêng-ira, pan sak wêngku tebok bolonging li-ali, tumungkul Senapatya.

Sungguh kamu belum awas, dulu aku sudah pernah memasuki Istana (samudera), cincin (Sang) Dyah aku curi, dari jari kelingking Sang Rum (Wangi), lihatlah ini anakku, terkejut Sang (Panembahan) Senapati, manakala melihat, wujud cincin sedemikian besarnya, sebesar tebok (tampah kecil tempat memilah butiran padi dengan kulitnya setelah ditumbuk, terbuat dari jalinan bambu : Damar Shashangka) lobang lingkarannya, (Panembahan) Senapati tertunduk.

5. Driya maksih maiben ing galih, Sunan Adi ing tyas wus waskitha, Senapati tyas sandeyeng, wusana ngling Sang Wiku, Payo jêbeng ya padha bali, mumpung Narpeng Dyah nendra, katon warna tuhu, mêngko jêbeng waspadakna, ri wusira Jêng Sunan lan Senapati, linggar manjing samodra.

Masih belum percaya dalam hati, Sunan Adi menangkap ketidak percayaan itu, bimbanglah hati (Panembahan) Senapati, lantas berkatalah Sang Wiku, Anakku mari kita buktikan, mumpung Ratu Wanita sedang tidur sekarang, akan terlihat wujudnya yang asli, perhatikanlah dengan seksama nanti, setelah itu Jeng Sunan dan (Panembahan) Senapati, berjalan ketengah samudera.

6. Sak praptaning jro Pureng Jêladri, Ratu Kidul wus kêpanggih nendra, nglênggorong langkung agênge, lukar ngorok mandhêkur, rema gimbal jatha mangisis, panjangnya tigang kilan, sak carak gêng-ipun, kopek nglembereh sakiyan, Senapati kamigilan wrin ing warni, tansah lêgêg tan nêbda.

Sesampainya didalam istana samudera, Ratu Kidul didapati tengah tertidur, tubuhnya rebah dan sangat-sangat besar, bahkan terdengar bunyi dengkurannya, rambut gimbal taringnya tampak mencuat, panjangnya tiga jengkal jari, sebesar carak (ceret/tempat air minum) besarnya taring, payudaranya menggelantung turun, (Panembahan) Senapati ngeri melihat wujud tersebut, terpaku tak bisa bicara sepatah katapun.

7. Sunan Adi nêbdeng Senapati, Jêbeng iku warnane sanyata, kang bisa ayu sulape, linulu mring Hyang Agung, lamun wungu sakarêp dadi, bisa salin ping sapta, sadina warna yu, yen wis tutug pandulunya, payo mulih bok mênawi mêngko tangi, gawe rêngating driya.

Sunan Adi berkata kepada (Panembahan) Senopati, Anakku itulah wujud dia yang sesungguhnya, bisa berubah wujud sangat-sangat cantik hanya karena kekuatan sihir belaka, mendapat anugerah dari Hyang Agung, manakala terjaga dari tidur wujud apapun yang diinginkannya bisa dia buat, mampu merubah wujud tujuh kali, dalam sehari dengan wujud cantik yang berbeda-beda, apabila kamu sudah cukup melihat, mari kita segera pulang jangan sampai nanti dia terbangun, tidak enak dihati jadinya nanti.

8. Wusnya nulya kentar pyagung kalih, ing samarga Sunan tansah jarwa, Ya sun tan malangi jêbeng, nggonira kita wanuh, lan Dyah Narpa sak karsa kaki, wis bênêr karsanira, nging ta cêgah ingsun, wênangira mung pêrsobat, sabab iku kang rumêksa Pulo Jawi, wênang sinambat karsa.

Setelah itu segera beranjak pulang kedua priyayi (bangsawan) agung, sepanjang jalan Sunan (Adilangu) terus menasehati, Aku tidak bermaksud menghalangi anakku, kedekatanmu, dengan Ratu Wanita terserahlah kepadamu, sesungguhnya sudah benar apa yang kamu lakukan (sebagai seorang Raja), namun aku menyarankan, sebatas pertemanan saja (antara dua orang Penguasa), sebab dialah yang menjaga pulau Jawa, tak ada salahnya jika dimintai bantuan.

9. Mayo padha mulih mring Matawis, ingsun arsa kampir wismanira, wusnya dwi gancang tindake, Sunan ing Ngadilangu, dhinerekkên lan Senapati, tindakira lir kilat, sakêdhap prapta wus, njujug dalêm pêpungkuran, Sunan Adi lawan wayah Senapati, arsa ngyêktekkên srana.

Marilah kita pulang ke Mataram, aku ingin mampir sejenak ke istanamu, setelah itu keduanya mempercepat jalan masing-masing, Sunan Adilangu, diiringi (Panembahan) Senapati, jalannya secepat kilat, hanya sekejap saja sudah sampai, langsung menuju ruang belakang, Sunan Adi dan sang cucu yaitu (Panembahan) Senapati, hendak membuktikan khasiat benda yang diperoleh dari samudera.

10. Juga Juru Taman Senapati, jalma tuwa madad karêmannya, dadya mêngguk raga ngronggok, yen angot tan tuk turu, sambat muji marang Hyang Widdhi, nuwun kuwatan rosa, pinanjangna ngumur, sabên muji pan mangkana, kantya tan wrin yen gustenira miyosi, tumrun bale krengkangan.

Tersebutlah Juru Taman (Panembahan) Senapati, sudah uzur usianya dan suka madat, sehingga terkena sakit batuk badannya kurus, jika kumat batuknya dia tak bisa tidur semalaman, memohon selalu kepada Hyang Widdhi, supaya diberikan kesehatan, agar diberikan panjang umur, setiap berdoa pasti seperti itu permintaannya, saat itu tak disadarinya jika Gustinya menghampiri, berusaha turun dia dari balai dengan susah payah.

11. Senapati wusnya lêngah angling, Heh Ki Taman mau sun miyarsa, sira muji minta kyate, iku ta apa tuhu, minta ing Hyang saras-ing sakit, lan dawane mur-ira, Juru Kêbon matur, Nggih Gusti yêktos amba, rintên dalu nênuwun maring Hyang Widdhi, panjanging umur saras.

Setelah duduk berkatalah (Panembahan) Senapati, Hai Ki Taman aku tadi melihat, engkau berdoa meminta kekuatan badan, apakah permintaanmu itu sungguh-sungguh? Meminta sembuhnya penyakitmu, meminta panjangnya usiamu, Juru Kebun (Taman) menhaturkan jawaban, Benar Gusti sungguh hamba, siang malam meminta kepada Hyang Widdhi, agar diberikan usia panjang dan kesembuhan.

12. Yen wis mantêp panuwunmu kaki, sun paringi sêsarating gêsang,dimen sirna lara kabeh, Ki Taman nêmbah nuwun, majêng sinung Tigan tinampi, laju kinen nguntala, saksana nguntal wus, Ki Taman mubêng angganya, lir gangsingan tantara jumêglug muni, wrêksa sol sangking prênah.

Kalau memang kamu sungguh-sungguh, aku akan memberikan sarana buat hidupmu, agar supaya sirna segala penyakitmu, Ki Taman menghaturkan terima kasih, bergerak mendekat diberi telur dan diterima sudah, segera disuruh memakan mentahan, segera dimakan seketika itu juga, Ki Taman berputar-putar tubuhnya, bagaikan gangsing dan menggeram keras, suaranya bagaikan pohon yang tumbang dari tempatnya.

13. Gya jênggelek warna gêng nglangkungi, Juru Taman lir gunung anakan, jatha gimbal kalih kagêt, wrin langkung tyasnya ngungun, Sang Wiku ngling mring Senapati, Iku jêbeng dadinya, yen nut mring Ni Kidul, Sang Sena mingkuh tan nebda, mitênggêngên gêgêtun uningeng warni, de kadya arga suta.

Seketika berubah wujudnya sangat-sangat besar, Juru Taman bagaikan gunung anakan besarnya, taring muncul dan rambut berubah gimbal terkejut (Panembahan Senapati), melihat kejadian itu sangat-sangat heran hatinya, Sang Wiku berkata kepada (Panembahan) Senapati, Seperti itulah kejadiannya, apabila kamu menuruti perkataan Ratu Kidul, Sang (Panembahan) Sena(pati) tak bisa berkata-kata, tertegun dan kecewa melihat akan hal itu, melihat wujud bagai anakan gunung.
14. Sunan Adi gya ngandika malih, Kari siji jêbeng nyatakêna, kang ran Lênga Jayengkatong, Sang Senapatya mêstu, nulya dhawuh kinon nimbali, pawongan nguni êmban, têngran Nini Panggung, lan gamêl nami Ki Kosa, tan adangu kalihnya wus têkap ngarsi, Sang Sena lon ngandika.

Sunan Adi(langu) segera berbicara lagi, Tinggal satu benda lagi anakku buktikanlah, apa yang dinamakan Minyak Jayengkatong tersebut, Sang (Panembahan) Senapati menurut, lantas memerintahkan untuk memanggil, seorang emban (pelayan wanita), bernama Nini Panggung, dan seorang penabuh gamelan bernama Ki Kosa, tak berapa lama kemudian keduanya telah menghadap, Sang (Panembahan) Sena(pati) pelan berkata.

15. Bibi Panggung mula sun timbali, lan si Kosa ya padha sun jajal. nggonên Lênga Jayengkatong, nggennya sung Ratu Kidul, yen wis ngarja sêkti ngluwihi, kang liningan wot sêkar, tan lêngganeng dhawuh, Panggung Kosa tinetesan, Jayengkatong gya sirna kalih tan keksi, pan wus manjing nyeluman.

Bibi Panggung kamu saya panggil, berikut Ki Kosa kalian berdua akan aku coba, untuk memakai Minyak Jayengkatong, pemberian Ratu Kidul, apabila sudah memakai pasti akan menjadi sakti luar biasa, yang diperintahkan hanya menurut, tidak membantah lagi, (Nini) Panggung (dan) Ki Kosa ditetesi, (Minyak) Jayengkatong seketika tak terlihat keduanya, beralih alam menjadi siluman.
16. Sak sirnanya ngungun Senapati, abdi tiga pan salah kêdadyan, wusana lon ngandikane, Heh Kosa bibi Panggung, de wong roro padha tan keksi, umatur kang sinêbdan, Inggih Gusti ulun, keng cêthi tan kesah-kesah, sangking ngarsa wit pinaringan lisah Gusti, de mawi tan katinggal.

Begitu keduanya sirna tak terlihat heranlah (Panembahan) Senapati, ketiga abdinya berubah tidak lumrah, lantas pelan dia berkata, Hai (Ki) Kosa (dan) Bibi Panggung, kalian sekarang tidak bisa dilihat oleh mata lagi. Menjawab yang telah tak terlihat, Benarlah demikian Gusti, namun saya tidak akan pergi jauh (dari istana Mataram), semenjak saat diberi Minyak oleh Gusti, walaupun kami tak akan bisa dilihat mata.

17. Sunan Adi lon nambungi angling, Heh Ni Panggung sira lan si Kosa, padha narimaa karo, pan wus karseng Hyang Agung, sira dadi wadaling Gusti, dede jatining jalma, mêngko tan kadulu, pan wis dadi ê-Jim padha, nging ta sira aja lunga sing Matawis, êmongên Gustinira.

Sunan Adi(langu) pelan menyahut, Hai kamu Ni Panggung dan si Kosa, ikhlaskanlah ini semua, sudah menjadi kehendak Hyang Agung, kalian semua dijadikan tumbal oleh Gusti kalian, kalian sekarang bukanlah manusia, sudah tidak bisa dilihat, kalian sudah berubah menjadi Jin, akan tetapi janganlah kalian meninggalkan Mataram, dampingilah Gusti kalian.

18. Prayogane jêbeng Senapati, bocahira têlu ingsun prênah, Panggung Kosa ing ênggone, anenga wringin sêpuh, Juru Taman neng Gunung Mrapi, ngêreha lêmbut ngarga, rumêksa-a kêwuh, mungsuh kirdha jroning praja, Juru Taman kang katêmpuh mapag jurit, mêstu kang sinung sêbda.

Sepertinya akan lebih baik oh anakku Senapati, apabila ketiga abdi ini aku tempatkan, (Nini) Panggung dan (Ki) Kosa, penunggu di pohon Beringin tua, sedangkan Juru Taman aku tempatkan di Gunung Merapi, memimpin seluruh makhluk halus yang ada di gunung tersebut, menjaga keamanan, menghadang musuh yang hendak merusak kerajaan, Juru Taman yang bertugas menghadapi, semua yang diperintah mematuhinya.

19. Katrinya wus kinon manggon sami, Panggung Kosa lawan Juru Taman, sang kalih dugi karsane, gya kondur dalêmipun, Senapati ngungun ing galih, duk aneng pureng sagra, de meh sisip nglakur, Sunan Adi gya ngandika, Senapati wismamu tan dipagêri, kêbo glar neng pêgungan.

Ketiganya sudah menempati tempat yang diperintahkan, (Nini) Panggung (Ki) Kosa dan Juru Taman, setelah selesai membuktikan, kedua priyagung (Sunan Adilangu dan Panembahan Senapati) masuk kedalam istana, (Panembahan) Senapati terus terheranheran dalam hati, hasil dari istana samudera, hampir saja membuat dia celaka salah jalan, Sunan Adi(langu) mendadak berkata, Senapati istanamu tanpa pagar pembatas, bagaikan seekor kerbau yang dibiarkan terumbar.

20. Tanpa kandhang ya kang kêbo sapi, heh ta jêbeng Senapati Nglaga, iku pan sisip pasrahe, karana Allah dudu, piyangkuhmu aneng Matawis, sebarang karsanira, kadhinginan ujub, kêbo sapi tanpa kandhang, wahanane sapa wani marang mami, dursila satru kridha.
Tanpa kandang, oh anakku Senapati Ngalaga, hal ini adalah kepasrahan yang keliru, bukan kepasrahan kepada Allah yang benar, bahkan terkesdan angkuh kerajaan Mataram, semua perbuatanmu, selalu didahului kecongkakan, bagai kerbau dan sapi tanpa kandang, menampakkan siapa yang berani dengan aku, akan memancing orang jahat dan musuh.

21. Bêcik nganggo ênêng lawan êning, lumakuwa sokur lawan rêna, wisma-a lan pêpagere, kêbo sapi yen ucul, kêluhana dipuncêkêli, yen mulih prapteng wisma, kandhangna sadarum, sêlarahe pacêlana, tunggonana yen turu kêlawan wengi, pasrahna mring Kang Murba.
Kenakanlah kesadaran yang jernih (ening) dan penuh ketenangan (eneng), berjalanlah dengan hati penuh syukur dan tulus, istana dengan diberi pagar (adalah wujud kepasrahan yang benar), ibarat kamu memiliki kerbau dan sapi jika berontak hendak lepas, pegang erat keluh (tali pengikat yang ada dihidung)-nya, apabila didalam kandang, masukkanlah semuanya, kunci rapat pintu kandang, jagalah baik-baik siang maupun malam, itulah bentuk kepasrahan yang benar kepada Sang Penguasa Sejati.

22. Anganggoa andum lawan milih, dipatuta lan lakuning praja, lungguh-ira lan ngelmune, istiyar-mu di-agung, anganggowa sumêndhe Widdhi, sêbarang tingkahira, anganggoa sokur, karane dipun prayitna, laku linggih solah muna lawan muni, pracihna dadi nata.

Pilahlah dan pilihlah, apa saja yang pantas bagi sebuah kerajaan, yang sesuai dengan kedudukan dan kecerdasan kamu, perbanyaklah ikhtiyar, dan bersandar kepada (Hyang) Widdhi, setiap tindakanmu, warnailah dengan rasa syukur, senantiasa ingat, baik saat berjalan duduk berbicara, ingatlah bahwa kamu adalah Raja.

23. Mêngko jêbeng ingsun mêrtikêli, karya kitha mrih kukuh prajanta, salamêta prapta ing têmbe, jêbeng ngambila ranu, aja akeh kêbak kang kêndhi, Senapati wot sêkar, dhawuh cêthi mundhut, tirta ing kêndhi pratala, kang liningan sandika nulya nyaosi, tirta mungging lantingan.

Nanti akan aku berikan petunjuk anakku, bagaimana membangun kota agar kokoh kerajanmu, selamat sejahtera hingga nanti, ambilkan air anakku, jangan terlalu banyak air didalam kendhi secukupnya saja, (Panembahan) Senapati memenuhi permintaan, segera menyuruh agar mengambil, air didalam kendhi tanah, yang diperintahkan segeramengambilkan dan tak lama kembali membawa apa yang diminta, air didalam kendhi.
24. Nulya linggar wau Sunan Adi, ngasta pandêlêngan isi tirta, tindak ngidêri dhadhahe, Senapati tut pungkur, sarwi mbêkta ingkang têtali, ngethengi rut-ing tirta, ngandika Sang Wiku, Heh ya jêbeng Senapatya, ge turutên sak tilase banyu iki, karyanên kuthanira.

Lantas bergeraklah Sunan Adi(langu), sembari membawa kendhi berisi air, berjalan mengelilingi perbatasan, (Panembahan) Senapati mengiringi dibelakang, sembari membawa tali, untuk mengukur tanah dimana air dicueahkan, berkata Sang Wiku (Sunan Adilangu), Hai anakku Senapati, ikutilah bekas dimana air aku curahkan, bangunlah tembok kota disitu.

25. Jêbeng rehne tumitah ngaurip, aja kandhêg laku panarima, lan diwêruh wêwekane, ingon-ingonmu sagung, uga padha kêlawan kasih, yen kurang pangrêksanya, têmah praja eru, saking datan wruh ing wêka, nora ngrasa yen manungsa mung sinilih, marang Kang Murbeng Alam.

Karena dititahkan menjadi makhluk hidup oh anakku, jangan berhenti menjalankan hati yang dipenuhi syukur, dan seyogyanya bias memperhatikan kebutuhan, dari semua rakyatmu, perlakukan dengan kasih, manakala kurang diperhatikan, bakal mencibpatak rusauhnya kerajaan, disebabkan kurangnya perhatianmu, tidak merasa bahawa semua ini hanyalah pinjaman, pinjaman dari Yang Menguasai Alam.

26. Lawan sira diwaspadeng gaib, lamun kita marentah mring wadya, enakêna kabeh tyase, tuhunên ujar ingsun, nuli siram rêntaha dasih, awita konên nyithak, wongira Matarum, sak pakolehe nggon karya, bêcingahên kuthanira den bêcik, dadya tilar sun wuntat.

Dan waspadalah selalu, manakala kamu memberikan perintah kepada seluruh rakyat, buatlah nyaman hati mereka, turutilah nasehatku, lsiramilah hati mereka denga kasih, sekarang mulailah mencetak, suruhlah orang-orang Mataram, dalam bekerja, usahakan mengerjakan sebagus mungkin, sehingga bisa bertahan lama sampai nanti.

27. Jêbeng yen wis jumbuh traping urip, sasat sira wus madêg narendra, mêngkoni ngrat Jawa kabeh, nêtêpi manungsa gung, lan Hyang Sukma kinarya silih, mêngkoni ngalam padhang, kang kuwasa tuhu, asung sak warneng gumêlar, pan manungsa kang winênang andarbeni, lêstari tanpa kara.

Anakku manakala sudah sesuai dengan laku hidup yg sesungguhnya, sungguh bagaikan sudah menjadi Raja, sesuai dengan kelakuan manusia utama, menjadi wakil Hyang Suksma, menguasai alam dunia, yang bernar-benar berkuasa, kepada seluruh yang hidup, karena memang manusia seperti itulah yang berhak memiliki, dan akan kuat tanpa rintangan.

28. Lan diwêruh kahananing Widdhi, jêbeng uga nggene kang sênyata, pan ya sira sak solahe, nging kêsampar kêsandhung, dene sira nora ngulati, nggone cêdhak asamar, tan ana kang dunung, ngalela neng ngarsanira, Gustinira neng ngarsa katon dumêling, anging kalingan padhang.

Ketahuila keberadaan (Hyang) Widdhi, oh anakku keberadaan-Nya yang sejati, sesungguhnya tak berpisah dengan segala aktifitasmu, akan tetapi tiada kamu hiraukan, bahkan tiada kamu ketahui, sangat dekat namun samar, tiada bertempat jauh disana, benar-benar nyata didepanmu, Tuhan sesungguhnya ada didepan matamu, tetapi terliputi alam dunia.

29. Senapati wot sêkar nuwun sih, jarweng Sunan Adi wus kadriya, nging mêksih sandeya tyase, de naluri kang tinut,……………………………….., ……………………….,

(Panembahan) Senapati mematuhi dan menghatrukan terima kasih, semua nasehat Sunan Adi(langu) sudah dimasukkan dalam hati, namun masih gelisah hatinya, masih berat dengan keberadaan Ratu Kidul, ……………………………….., …………………………….,





(Selesai)
Sumber : www.alangalangkumitir.wordpress.com oleh : Mas Kumitir
Di Edit dan post Oleh : Tj garing