Seorang teman kita, seorang “pakar” Zen, menasehati kawan lain untuk
menaklukan rasa takutnya. Ia dengan bangganya berkata, “Aku menolak
untuk diperbudak oleh rasa takut.”
Sekarang, “menolak” untuk diperbudak oleh rasa takut, tidak
membebaskanmu dari rasa takut itu sendiri. Sebaliknya, penolakan semacam
itu hanya membawamu pada sebuah pertempuran tiada akhir. Kamu
menyatakan perang terhadap ketakutan. Dalam hal ini maka kamu akan
menjadi amat keras, seperti batu. Kamu berjuang melawan ketakutan, dan
sebaliknya ketakutanpun bereaksi terhadapmu. Ini perang yang tak
berkesudahan, melelahkan. Tak akan ada yang mampu menang melawan
ketakutan dengan cara semacam itu. Justru kamu akan kehilangan
kemanusiaanmu, kerendahan hatimu, kelembutanmu dan segala sesuatu yang
berharga dalam dirimu.
Karena, dengan menolak diperbudak oleh ketakutan, kamu sebenarnya
mengakui kekuasaannya. Kamu sendiri yang menciptakan ketertindasan dan
kamu sendiri pula yang menolaknya. Ini permainan pikiran semata. Dalam
kenyataannya, kamu menciptakan konflik dalam pikiranmu sendiri. Kamu
membangkitkan satu bagian dalam benakmu guna memerangi bagian yang lain.
Ini langkah awal menuju kegilaan, schizophrenia.
“Keahlian” nya dalam Zen telah mendaratkan dirinya dalam sebuah
“abyss” ketersesatan-sungguh ironis! Dan, hal semacam ini telah
berlangsung selama ribuan tahun bahkan lebih. Lihat saja yang terjadi di
Jepang, negara yang selalu menghubungkan segala sesuatunya dengan Zen.
Setelah 1000 tahun berlatih mempraktekkan Zen, negara ini menjadi begitu
keras dan ganas bahkan hampir saja membinasakan seluruh dunia. Ia menjadi begitu ambisius, haus kekuasaan. Kenapa?
Karna rasa takut.
Orang yang sungguh berani tak pernah menyerang orang lain. Ia akan
selalu mencoba untuk tak bereaksi ataupun membalas, kecuali jika memang
diperlukan. Jepang tak memiliki alasan yang masuk akal guna melibatkan
dirinya dalam perang yang terjadi di Eropa. Tapi, ia tetap saja ngotot.
Dan, ia melakukan ini karena ia merasa takut bahwa posisinya dalam
kompetisi global guna meraup kekuasaan dan pengakuan akan tergusur. Ini
terjadi karena ambisi dan kelaparan pada yang namanya kekuasaan.
Sayangnya kita tak mau belajar dari sejarah ini. Kita kerap membuat kesalahan yang sama, jatuh ke lubang yang sama.
Tapi, kita harus meninggalkan Jepang dan kekonyolannya dalam Perang
Dunia II, dan teman kita – yang mengaku seorang “pakar” Zen. Ia adalah
korban kesalahpemahaman definisi Zen sebagai “Jalan para Ksatria”.
Pilihan phrase “Jalan para Ksatria” itu sendiripun sudah tak tepat, tak
sesuai dengan makna yang hendak di sampaikan.
Bodhidarma,
yang memperkenalkan Dhyaan, meditasi di China, menyebutnya Raja-Yoga.
Ia menggunakan istilah umum yang berarti. Jalan para Raja. Atau lebih
tepat diterjemahkan menjadi
“Jalan Kesetiaan”.
Dhyaan dalam bahasa China menjadi Chang, di Jepang disebut Zen…Dan
Raja Yoga diterjemahkan menjadi Jalan para Ksatria. Seribu tahun lalu,
Jepang dibagi menjadi “prefectures’ yang kecil-kecil – sebuah istilah
yang menarik dan masih valid dan umum di Jepang hingga kini.
Prefectures bahkan bukan sebuah kerajaan kecil.
Mereka adalah distrik-distrik kecil ataupun besar, yang berkuasa bisa
silih berganti sewaktu-waktu dalam hitungan bulan. Para Samurai yang
haus kekuasaan dan ambisius selalu saling menggorok leher satu sama
lain. Zen, sama sekali bukan seperti itu. Lantas, Para Master Zen pada saat itu berupaya mengubah para ksatria
tadi dengan ajaran non-vilence, tanpa kekerasan. Mereka mencoba
menjelaskan begini, “Hey…lihat, ini adalah Jalan kesetiaan, Jalan untuk
menjadi Ksatria Sejati adalah saat kamu menguasai dirimu sendiri.”
Kemudian, ekspresi dan pemahaman mendalam semacam ini hanya menjadi
bagian yang terlupakan dari Zen sendiri. Justru Archery, Kung Fu, dan
pelbagai bentuk seni bela diri kini diajarkan atas nama Zen. Dan, Zen
menjadi kehilangan esensinya, makna dan misi sejatinya.
Sayangnya, Zen yang tanpa makna ini sekarang populer diajarkan,
dipelajari dan dipraktekkan hampir di seluruh dunia. Teman kita tadi
adalah korban dari mal-praktek dalam proses pengajaran dan pembelajaran
Zen. Akibatnya, ia menjadi begitu keras – jenis kekerasan yang kaku. Ia
seolah menjadi pembawa nilai-nilai “positif” namun dengan cara yang
“negatif”, ini merupakan negatifitas yang sama sekali tak bermanfaat
bagi peradaban kita saat ini
Rasa takut tak perlu diperangi, dilawan.
Ini hanya perlu dipahami.
Dengan secara tepat memahaminya, kamu seketika itu juga
mengatasi/melampauinya. Tak ada upaya yang harus dilakukan. Tak ada
energi yang harus diboroskan untuk memeranginya. Tak ada setitikpun
ruang dan waktupun untuk memeranginya.
Ketakutan exist karena kelemahan kita, karena kita merasa tidak mampu
menghadapi situasi hidup tertentu. Satu-satunya solusinya adalah
Pemberdayaan-Diri. Berdayakan Dirimu Sendiri!
Saat kamu tak mampu membereskan pekerjaanmu, kamu terus takut ketemu
bossmu. Bagaimana mengatasi/melampaui ketakuatan semacam ini? yakni
dengan mengembangkan keahlian yang dibutuhkan, dengan meningkatkan
kemampuanmu, dengan Memberdayakan Dirimu.
Ini sama sekali tak tepat, melenceng dari Zen, jika kemudian kamu
menemui bosmu dengan muka tegang, menantangnya dan berkata,”Ok, itulah
aku. Aku tak tak mampu melakukan lebih dari itu. Dan kemudian, kamu
memberi label pada kegilaan semacam itu sebagai “kejantanan”.
Tapi, itulah yang seseorang lakukan setelah berguru dengan “pakar” Zen kita. Hasilnya : kehilangan pekerjaan.
Ketakutan hanya bisa diatasi dengan memahami sebab awalnya, dan
membuat perubahan/koreksi yang sesuai. Ketakutan adalah akibat. Akibat
dari ketidakmampuan, kelemahan, dan di atas segalanya ketololan kita.
Untuk mengatasi rasa takut, sederhana saja, kita harus membuat diri kita
berdaya, kuat, dan cerdas. Kamu tak akan pernah bisa mengatasi rasa
takut dengan memerangi atau menolaknya. Menolak rasa takut berarti
menolak perubahan itu sendiri.
Jadilah berani, tapi jangan memerangi rasa takut….
Mengatasinya dengan pemahaman yang tepat tentang sebabnya. Jika kau
tak tahu apa sebabnya maka kamu tak akan pernah bisa mengatasinya. Kamu
akan tetap penakut selamanya, tak peduli berapa keras dan tegangnya
wajahmu. Sebaliknya, kekerasan semacam ini akan membuatmu semakin takut,
karena kamu kehilangan keluwesanmu, kemampuanmu beradaptasi dan
mengikuti irama kehidupan. Dan, Hidup menjadi tiada bermakna bagi para
penakut.
Sebuah pesan untuk kawan kita, yang mengaku Pakar Zen, “Lebih baik
kamu mengurusi dirimu sendiri. Tak perlu menasehati orang lain dan
sok-sok menjadi jagoan/juru selamat, karena kamu hanya akan membahayakan
mereka.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar