Boedak Satepak 26 Desember jam 11:19
Bangsa kita ini begitu aneh, mau saja didikte oleh para ilmuwan Barat bahkan hampir 100% turut menyepakati pendapat bangsa lain, misalnya ketika negara dan bangsa Indonesia dikategorikan sebagai bangsa kelas tiga ataupun ketika disebut sebagai negara berkembang. Barat menetapkan bahwa kebudayaan Mesir dan Yunani (6000 - 5000 SM) sebagai peradaban tertua di bumi, ilmuwan negeri kita ikut mendukung propaganda 'ilmiah' itu. Entah kenapa, ilmuwan sejarah dan kepurbakalaan bangsa kita sepertinya takut untuk melahirkan teori baru tentang peradaban atau memang otaknya kurang cerdas. Namun pada umumnya takut untuk berhadapan dengan argumentasinya sejarawan Barat (salut untuk Prof. Primadi Tabrani).
Berdasarkan catatan yang tertulis di alam sebagai "situs sejarah" baik yang berupa penamaan wilayah serta objek-objek lain yang ada di negara kita sebenarnya menunjukan kemungkinan sangat besar bahwa peradaban manusia berawal dari negara ini (30.000-12.000 SM).
Paradigma sejarah dunia harus dirombak total...
Indonesia tidak pernah mengalami jaman es (Ice Age) sebab berada di atas permukaan pegunungan berapi (ring of fire) dengan titik lintasan matahari paling ideal. Berbeda dengan negara-negara lain yang pernah tertutup es, terutama kawasan Eropa.
- Awal peradaban dimulai dari daerah Gn. Bata-Ra Guru (Dn. Toba), kini kita mengenali masyarakatnya dengan sebutan Bataka-Ra (Batak Karo). Wilayah tersebut sering disebut sebagai "Mandala Hyang" (Mandailing). Ajarannya bernama Surayana (SU-RA-YANA) dengan kiblat Matahari atau Batara Guru (kita menyebutnya sebagai Batara Surya) hingga kita mengenal istilah Satu Sura (Suro). Adapun Batara Durga adalah wakil Matahari (Batara Guru) di Bumi yaitu API.
- Setelah Gn. Bata-Ra Guru meletus peradaban bergeser ke Gn. Sunda (Gn. Ka-Ra Katwa), biasa disebut sebagai Bwa-Na Ataan (Banten). Plato menyebutnya sebagai Benua Atalan atau Sundalan, ajarannya disebut Sundayana (sama dengan Surayana). Maka, kata "SUNDA" itu bukan nama sebuah etnis di Jawa Barat melainkan nama ajaran yang juga menjadi nama wilayah besar. Sunda merupakan asal kata Su-Na-Da dan itu bukan singkatan tapi kesatuan kalimat. SU = Benar/Baik, NA = Api, DA = Besar/Gede/Agung. Kata Sundayana oleh Barat digunakan menjadi "Sunday" dan matahari nya disebut "Sun".
- Letusan Krakatau menyebabkan pindahnya peradaban menuju daerah Lamba Hyang atau Lambang (Lembang). Konsep kenegaraan pertama di muka bumi berawal dari wilayah ini Gn. Agung (Tangkuban Parahu) dengan konsep "Salaka Domas dan Salaka Nagara" (Dvi-Varna yaitu MERAH = Sinar/RA/BUR/Mahacahaya/Matahari... dan PUTIH = Naga/Penguasa wilayah Gunung Api dan Lautan, sistem kenegaraan berupa Keratuan yang dimulai oleh Sang Hyang Watugunung Ratu Agung Manikmaya kemudian dilanjutkan oleh Maharatu Resi Prabhu Sindu La Hyang yang kelak dikemudian hari diteruskan oleh dinasti Warman (Mulawarman) atau dengan konsep kenegaraan SITUMANG (Resi-Ratu-Rama & Sang Hyang) yang menaungi Da Hyang Su-Umbi (Wilayah Hyang Bumi yang Benar atau PA-DA-HYANG) sebutan "Ratu / RA-TWA" tidak sama dengan queen, Ratu artinya sama dengan Rajya (bahasa India). Ratu merupakan kedudukan di Ka-Ra-Twa-an (Keraton) dan gelar penguasanya disebut RA-HYANG untuk wilayah PA-RA-HYANG (Parang). Di wilayah PA-DA-HYANG (Padang) penguasanya bergelar DA-HYANG berkedudukan di Kedaton (Ka-Da-Twa-an)... bertugas sebagai pengelola wilayah besar di luar Parahyang... Datu = Resi.
- Setelah Tk Parahu meletus pemerintahan berpindah ke Gn. Brahma (Bromo) dengan dua gerbang besar Gn. Sundoro (Sunda-Ra) dan Gn. Sumbing (Su-Umbi Hyang) serta pelataran Dieng (Da Hyang / Padang). Lalu Gn. Su-Meru menjadi penanda puncak kejayaan ajaran Salaka Domas dan Salaka Naga-Ra.
- Letusan Gn. Bromo menyebabkan pusat pemerintahan berpindah ke Gn. Gede (Gn. Agung-Bali), ajaran Sundayana terus berkembang seperti yang disampaikan oleh Prabhu Sindu La-Hyang, dan menjadi semakin pesat dengan nama Udayana (Sundayana).
- Peradaban pemerintahan Purwanagara ini diakhiri dengan ditetapkannya Gn. Tambo-Ra di Pulo Su-Bawa di masa Maharaja Resi Prabhu Tarus Bawa pada jaman Dwipanta-Ra (jauh sebelum era Nusanta-Ra).
Ajaran Sundayana yang disampaikan oleh Maharatu Resi Prabhu Sindu La Hyang oleh bangsa Jepang disebut Sinto (Shinto). Cikal bakal ajaran Matahari ditetapkan di Su-Mate-Ra sedangkan di Jepang menjadi A-Mate-Ra-Su. Di Cina konsep ajaran La-Hyang ini dikenal dengan sebutan "Liong" (Naga dan Ra) kemudian di India ajaran itu disebut Hindu yang diawali dari daerah Jambudwipa... boleh jadi disimbolkan dalam kisah RAMAYANA (RAMA dan SINTA/Sinto/Sindu).
Di Mesir kita mengenal tokoh Dewa Ra. Sebutan itu sesungguhnya tidak tepat, sebab DEWA = Cahaya, dan RA = Pusat Cahaya/Mahacahaya/Matahari. Jadi; RA adalah INTI dari DEWA... atau RA = MAHADEWA / MAHACAHAYA. Keberadaan RA di Mesir merupakan 'pengakuan' bangsa Mesir terhadap ajaran KETUHANAN bangsa NUSANTA-RA.... Bukankah patung Budha yang ada di Borobudur-pun tidak diartikan bahwa Sidharta Gautama ada di Indonesia? demikian pula dengan adanya RA di Mesir.
Walaupun hal tersebut masih berupa "aku-akuan" namun perlu ditelaah lebih lanjut oleh para ahli sejarah, budaya dan kepurbakalaan yang memiliki KECERDASAN. Diluar nantinya "benar atau salah" tentu saja tidak usah khawatir sebab ilmu pengetahuan harus tetap hidup dan berkembang walaupun mengakibatkan terjadinya perobahan besar yang melahirkan paradigma baru.
Profesor Dr Arysio Santos dari Brazil seorang ahli fisika nuklir telah mencoba meneliti tentang keberadaan Benua Atlantis yang kesimpulannya mengarah ke negara Indonesia namun penelitian Santos ditentang keras oleh para sejarawan Barat hingga bukunya dilarang terbit, lebih goblok dan celakanya lagi ilmuwan kita yang bangsa Indonesia asli malah ikut menentang teorinya profesor Brazil itu yang secara tidak langsung memberikan semangat dan mengangkat sedikit derajat bangsa maling ini adalah 100% BENAR bahwa Rakyat SUNDA (Nusanta-Ra) atau BANGSA MATAHARI adalah keturunan ANJING yang menikah dengan seorang putri Maha Cantik bernama DAYANG SUMBI anak perempuan Maharaja Sunda.
Memang rakyat Nusanta-Ra sesungguhnya adalah keturunan ANJING SI TUMANG... sebab fakta dan realitanya demikian dan itu tidak perlu ditolak, bahkan sudah seharusnya kita sebagai Bangsa Matahari merasa bangga menjadi keturunan langsung Si Tumang dan Dayang Sumbi.
Apakah benar-benar "ada" yang disebut si Tumang...??? ... 100% ADA !
Apakah benar Si Tumang itu Anjing...??? ... 100% BENAR !
Apakah benar ada anjing mengawini Putri Maha Cantik...??? ... 100% BENAR !
Apakah benar Rakyat Sunda Bangsa Matahari itu keturunan mereka...??? ... 100% BENAR
Cilaka...Gustiiii...cilaka...!
Sebagian besar bangsa Sunda ini tidak mengerti maksud dan maknanya...
Kisah roman murahan yang disuarakan oleh bangsa Eropa dipakai untuk menterjemahkan "cerita sejarah Bangsa Nusanta-Ra" yang Agung... Sejarah telah diselewengkan oleh orang-orang biadab yang tidak bertanggung-jawab... bahkan dalam sebuah acara kesenian, walikota Bandung Dada Rosada tidak menyetujui adanya gambar "anjing" (Si Tumang)... dia bilang "Rakyat Sunda bukan turunan Si Tumang...!" Sungguh ironis dan patut dikasihani jika orang setingkat WALIKOTA BANDUNG... tidak memahami sejarah beserta nilai-nilai luhurnya... bahkan bukan mustahil GUBERNUR JABAR-pun tidak tahu apa-apa tentang nilai agung leluhur Bangsa Sunda.... maka bagaimana mungkin mereka dapat memimpin dan membangun ???
Dari begitu banyak ketidak-pahaman atas nilai Leluhur Bangsa itu, sebenarnya apa yang ada di balik kisah perkawinan Anjing Si Tumang dan Dayang Sumbi...?
Berdasarkan pola lokal jenius (kearifan lokal) leluhur bangsa Nusanta-Ra ketika membangun sistem nilai komunikasi dalam bentuk kata/bahasa/gambar/gerak.dsb sering mempergunakan pola struktur yang unik, dan ini hampir di seluruh Nusanta-Ra. Khusus dalam pola kata / bahasa banyak yang dibuat singkat dan singkatan...umumnya memiliki nilai yang agung dan luhur.
Misalnya :
- Majapahit = Maharaja Purahita
- Suling = Su-La-Hyang
- Sunda = Su-Na-Da
- Dwipantara = Dwi-Pa-Na-Ta-Ra
- Jawara = Jawa-Ra
dst.
Setiap "penamaan" (apapun) yang dibuat pada jaman dahulu perlu direnungkan lebih dalam dan teliti, sebab biasanya tidak dapat dikaji dengan pola manapun kecuali mempergunakan pola yang sesuai dengan tata nilai dan pola lokalnya (*termasuk konteks kejadian / sejarah). Maka demikian pula dengan keberadaan tokoh "Anjing Si Tumang dan Dayang Sumbi" sebagai leluhur bangsa Nusanta-Ra. Keduanya samasekali bukan objek mahluk, baik binatang ataupun manusia sebab keduannya hanyalah simbol. Selama ini terjadi kesalah-kaprahan dalam pola penuturan dan penulisan kata "Si Tumang" yang sebenarnya adalah SI-TU-MA-HYANG singkatan dari :
1. SI = Resi
2. TU = Ratu
3. MA = Rama
4. HYANG = Sang Hyang Tunggal
Pola RESI-RATU-RAMA dan SANG HYANG TUNGGAL ini merupakan KONSEP KETATA-NEGARAAN PA-RA-HYANG yang kerap disebut juga sebagai TRI TUNGGAL atau TRITANGTU. Keberadaan konsep kenegaraan Sunda tersebut diabadikan dalam bentuk "monument kepala anjing" dari batu yang diberi nama SANG HYANG WATUGUNUNG RATU AGUNG MANIKMAYA.
Tri Tunggal atau SITUMANG inilah yang dengan "setia menjaga" Negeri Matahari kita, maka itu sebabnya dikatakan sebagai ANJING (*simbol kesetiaan dan pengabdian kepada negara). Kadang kesetiaan manusia kalah jauh dibandingkan hewan ini... bahkan manusia bersetia pada dasarnya karena "ada kepentingan".... contohnya ANGGOTA PARPOL.... heheheheh :)
CITRA binatang "anjing" menjadi BURUK setelah masuk dan adanya ajaran Islam di Indonesia, disebut sebagai binatang yang "NAJIS"...dan jika terkena liur atau moncong hidungnya harus dibasuh TUJUH KALI.... Mengapa begitu ekstrimnya...??? hingga sekelas dengan BABI (*simbol rakus)...??? Bahkan di Islam ada fatwa, "Jika di dalam rumah ada anjing maka malaikat tidak akan masuk...!" (*ini mungkin bisa jadi resep panjang umur :)
***dalam Islam, "anjing selalu dikonotasikan sebagai sesuatu yang negatif... entah apa maksudnya padahal masih banyak binatang lain selain bercitra negatif juga berbahaya.
Kisah rusaknya CITRA ANJING tidak ada bedanya dengan kisah LEMBU yang dikorbankan ('dipersembahkan')... padahal di Jepang sebagai negeri MATAHARI TERBIT (pengikut ajaran Negeri Matahari) anjing-pun disimbolkan sebagai penjaga Sang Matahari (AMATE-RA-SU).
*** Yang unik justru disebagian besar bangsa kita (terutama di desa), citra binatang UNTA yang tidak ada di negeri ini posisinya jadi lebih baik ketimbang "anjing"... why.... why.... ???
DAYANG SUMBI sendiri sesungguhnya BUKAN manusia berkelamin perempuan. Seperti halnya sebutan SI-TU-MA-HYANG, maka Dayang Sumbi-pun memiliki arti sendiri, yaitu :
1. DA = Besar / Agung
2. HYANG = Sang Hyang Tunggal
3. SU = Baik / Benar
4. UMBI = Ambu / Ibu / Bumi
Maka, Dayang Sumbi atau DA-HYANG SU-UMBI itu adalah IBU PERTIWI atau Negeri Matahari (Indonesia). Oleh sebab itulah disebut "Putri Maha Cantik" yang maksudnya adalah NEGERI SUBUR YANG MAHA INDAH...!!!
KESIMPULAN :
- SITUMANG sesungguhnya SIMBOL atas Lembaga Hukum Ketatanegaraan PA-RA-HYANG... Pusat Hukum Yang Berlandas kepada nilai KETUHANAN YANG MAHA ESA (Sang Hyang Tunggal)Resi = Legislatif. Ratu = Eksekutif. Rama = Yudikati. Hyang = Tuhan. Triaspolitika ini sudah hidup di negeri kita lebih dari dua ribu tahun yang lalu... bahkan hebatnya, ketiga konsep KENEGARAAN itu terikat dan dipersatukan dalam hukum TUHAN (Sang Hyang Tunggal).
- DAYANG SUMBI sesungguhnya merupakan SIMBOL WILAYAH yang MAHA CANTIK atau IBU PERTIWI. DA-HYANG SU-UMBI itu artinya adalah Keagungan / Kebesaran Tuhan di Bumi yang Baik / Benar.
- Istilah "KAWIN" tidak berarti merujuk kepada soal sex dan humanisme, tetapi lebih berupa KONSEP PENYATUAN dan KESATUAN dalam PENATAAN KELUARGA BESAR (Negara).
- ANJING merupakan simbol kesetiaan dalam menjaga kesatuan, keutuhan dan keberlangusungan NAGA-RA.
- Seluruh keturunan SI-TU-MA-HYANG dan DA-HYANG SU-UMBI adalah BANGSA MATAHARI yang SANGAT BERADAB atau BANGSA YANG MEMILIKI HUKUM KETUHANAN serta ATURAN HIDUP BERBANGSA dan BERNEGARA sejak... lebih dari 2000 tahun yang lalu....!!!
Dan itu adalah KITA...PUTRA NEGERI MATAHARI yang AGUNG
"Mari membangun RA-HAYAT !!!"
Kata kunci :
SENI merupakan JEMBATAN bagi KEINDAHAN dan MANUSIA SUNDA TIDAK MEMERLUKAN JEMBATAN ITU.....sebab MANUSIA SUNDA ADALAH KEINDAHAN ITU SENDIRI...!!!
Seni adalah "piranti" untuk mengasah kelembutan rasa (hati) dan kecerdasan berpikir, maka mempelajari SENI sama dengan BELAJAR MENGASAH RASA HINGGA MENCAPAI PUNCAK KETAJAMAN. Lalu, apa puncak pencapaian dari mempelajari seni...??? tentu saja untuk mendapatkan KEINDAHAN.
"Banyak karya seni yang menawarkan kesedihan dan kesengsaraan, namun tidak pernah ada keindahan yang menyajikan kepedihan"
Kebutuhan atas KEINDAHAN merupakan sifat ADIKODRATI yang dibawa sejak lahir oleh segala bangsa. Namun kebutuhan tersebut sangat tergantung kepada nilai-nilai tradisi dan potensi lingkungannya (semesta kehidupan yang ada di sekitar). Dengan kata lain; tergantung kepada sarana atau fasilitas yang tersedia sebagai pengasah "rasa".
Sejak jaman dahulu, "keindahan" bagi bangsa Sunda telah menjadi KEBUTUHAN HIDUP YANG UTAMA, dan ini menjadi sangat berbeda dengan bangsa2 lain di dunia. Mengapa demikian...? Sebab KEBUTUHAN DASAR telah terpenuhi secara sempurna (sandang, pangan, papan). Hal ini merupakan POLA ALAMIAH segala bangsa yang berlaku hingga detik ini, tanpa sedikitpun ada perobahan....mungkin begitulah sifat manusia, namun harus dipertegas bahwa BANGSA SUNDA TELAH LEBIH DAHULU MENGAWALINYA.
Walaupun "keindahan" telah menjadi kebutuhan yang mendasari pola kehidupan bangsa Sunda, namun masyarakatnya tidak pernah menempatkan "keindahan" itu sebagai objek SENI (Art). Bahkan hampir secara eksplisit seni diabaikan, sebab dimata orang Sunda "keindahan" itu bergulir dengan sendirinya datang dari lubuk hati tanpa harus berpikir dan tanpa harus direkayasa atau dibuat-buat... jujur apa adanya.... atau sebut saja bahwa KEINDAHAN TELAH MENJADI BAGIAN DALAM PERI KEHIDUPAN masyarakat Sunda.
Tentu paparan di atas terasa begitu SOMBONG dan terasa seperti PROPAGANDA kaum puritan lokal yang tersingkir dari peradaban 'modern'... TIDAK... sama sekali tidak begitu...!!! Paparan di atas adalah sebuah realita dan fakta yang sudah lama terkubur di negara kita (Nusantara) dan seolah tidak boleh diungkap lagi.
Bukti dan sisa-sisa KEINDAHAN itu sebetulnya masih tertampakan walaupun sudah semakin samar-samar, beberapa contoh (0,1%) di antaranya adalah sebagai berikut:
- Pola berbahasa dan berbicara sebagai PENGHORMATAN... dan bukan sekedar berkomunikasi atau menyampaikan informasi.
- Pola penempatan diri (tahu diri) sesuai dengan keberadaan diri sebagai KEHORMATAN dan bukan dalam pola kasta... tanpa dipaksa dan tidak memaksa.
- Pola saling MENJAGA dan MENGHORMATI kepada segala penghuni alam... apa pun bentuk dan sifatnya... tidak berlaku pemusnahan (pembunuhan).
- Pola bersikap dan berperilaku melalui pengukuran diri berdasarkan kualitas lingkungan (alam sekitar)... menjaga KELANGSUNGAN HIDUP DIMASA DEPAN... atau PEDULI kepada generasi yang akan datang.
(*terlalu banyak untuk diungkapkan sebagai BUKTI-BUKTI).
Hal ini diakibatkan oleh KONSEP atas sudut pandang KEINDAHAN, yaitu AJARAN TENTANG MANUSIA ADILUHUNG yang diterapkan oleh para leluhur bangsa, PENCAPAIAN PUNCAK DARI SEGALA PUNCAK PEMBENTUKAN KARAKTER MANUSIA UNGGUL PARIPURNA.
Dimata orang Sunda, KEINDAHAN itu adalah KEHIDUPAN... maka setiap KEHIDUPAN merupakan HAL YANG SANGAT BERHARGA... itu sebabnya bangsa Sunda begitu peduli terhadap segala aspek kehidupan, mereka mencintai kehidupan melampaui dirinya sendiri dan mereka harus menunjukan fungsi-guna diri terhadap lingkungan hidup dan masa depan seluruh keturunannya agar hidup lebih baik. Hal tersebut dilakukan secara ESTAFET dari generasi ke generasi... seolah memberi kabar tentang
"BANGUNLAH SEBUAH KEHIDUPAN YANG MAHA INDAH...(di negeri ini)"
Jadi, tidak perlu heran jika bangsa Sunda lebih memilih HIDUP ketimbang MATI... artinya; SEMANGAT HIDUP mereka bangun sedemikian rupa demi MEMBANGUN KEHIDUPAN DI DALAM SEMESTA KEHIDUPAN.... hal ini begitu bertentangan dengan seluruh ajaran yang datang dari negeri seberang, terutama Islam yang mensahkan KEMATIAN melalui PERANG dan JIHAD.
betapa INDAHNYA MENJADI ORANG SUNDA...
sayang hanya sedikit orang yang memahaminya.....