Sabtu, 22 Oktober 2011

MENJADI BERANI VERSUS MELAWAN RASA TAKUT


Seorang teman kita, seorang “pakar” Zen, menasehati kawan lain untuk menaklukan rasa takutnya. Ia dengan bangganya berkata, “Aku menolak untuk diperbudak oleh rasa takut.”

Sekarang, “menolak” untuk diperbudak oleh rasa takut, tidak membebaskanmu dari rasa takut itu sendiri. Sebaliknya, penolakan semacam itu hanya membawamu pada sebuah pertempuran tiada akhir. Kamu menyatakan perang terhadap ketakutan. Dalam hal ini maka kamu akan menjadi amat keras, seperti batu. Kamu berjuang melawan ketakutan, dan sebaliknya ketakutanpun bereaksi terhadapmu. Ini perang yang tak berkesudahan, melelahkan. Tak akan ada yang mampu menang melawan ketakutan dengan cara semacam itu. Justru kamu akan kehilangan kemanusiaanmu, kerendahan hatimu, kelembutanmu dan segala sesuatu yang berharga dalam dirimu.

Kenapa bisa begitchu?
Karena, dengan menolak diperbudak oleh ketakutan, kamu sebenarnya mengakui kekuasaannya. Kamu sendiri yang menciptakan ketertindasan dan kamu sendiri pula yang menolaknya. Ini permainan pikiran semata. Dalam kenyataannya, kamu menciptakan konflik dalam pikiranmu sendiri. Kamu membangkitkan satu bagian dalam benakmu guna memerangi bagian yang lain. Ini langkah awal menuju kegilaan, schizophrenia. 

“Keahlian” nya dalam Zen telah mendaratkan dirinya dalam sebuah “abyss” ketersesatan-sungguh ironis! Dan, hal semacam ini telah berlangsung selama ribuan tahun bahkan lebih. Lihat saja yang terjadi di Jepang, negara yang selalu menghubungkan segala sesuatunya dengan Zen. Setelah 1000 tahun berlatih mempraktekkan Zen, negara ini menjadi begitu keras dan ganas bahkan hampir saja membinasakan seluruh dunia. Ia menjadi begitu ambisius, haus kekuasaan. Kenapa? 

Karna rasa takut.
Orang yang sungguh berani tak pernah menyerang orang lain. Ia akan selalu mencoba untuk tak bereaksi ataupun membalas, kecuali jika memang diperlukan. Jepang tak memiliki alasan yang masuk akal guna melibatkan dirinya dalam perang yang terjadi di Eropa. Tapi, ia tetap saja ngotot. Dan, ia melakukan ini karena ia merasa takut bahwa posisinya dalam kompetisi global guna meraup kekuasaan dan pengakuan akan tergusur. Ini terjadi karena ambisi dan kelaparan pada yang namanya kekuasaan.

Sayangnya kita tak mau belajar dari sejarah ini. Kita kerap membuat kesalahan yang sama, jatuh ke lubang yang sama.

Tapi, kita harus meninggalkan Jepang dan kekonyolannya dalam Perang Dunia II, dan teman kita – yang mengaku seorang “pakar” Zen. Ia adalah korban kesalahpemahaman definisi Zen sebagai “Jalan para Ksatria”. Pilihan phrase “Jalan para Ksatria” itu sendiripun sudah tak tepat, tak sesuai dengan makna yang hendak di sampaikan.
Bodhidarma, yang memperkenalkan Dhyaan, meditasi di China, menyebutnya Raja-Yoga. Ia menggunakan istilah umum yang berarti. Jalan para Raja. Atau lebih tepat diterjemahkan menjadi 
 “Jalan Kesetiaan”.

Dhyaan dalam bahasa China menjadi Chang, di Jepang disebut Zen…Dan Raja Yoga diterjemahkan menjadi Jalan para Ksatria. Seribu tahun lalu, Jepang dibagi menjadi “prefectures’ yang kecil-kecil – sebuah istilah yang menarik dan masih valid dan umum di Jepang hingga kini.

Prefectures bahkan bukan sebuah kerajaan kecil.
Mereka adalah distrik-distrik kecil ataupun besar, yang berkuasa bisa silih berganti sewaktu-waktu dalam hitungan bulan. Para Samurai yang haus kekuasaan dan ambisius selalu saling menggorok leher satu sama lain. Zen, sama sekali bukan seperti itu. Lantas, Para Master Zen pada saat itu berupaya mengubah para ksatria tadi dengan ajaran non-vilence, tanpa kekerasan. Mereka mencoba menjelaskan begini, “Hey…lihat, ini adalah Jalan kesetiaan, Jalan untuk menjadi Ksatria Sejati adalah saat kamu menguasai dirimu sendiri.”

Kemudian, ekspresi dan pemahaman mendalam semacam ini hanya menjadi bagian yang terlupakan dari Zen sendiri. Justru Archery, Kung Fu, dan pelbagai bentuk seni bela diri kini diajarkan atas nama Zen. Dan, Zen menjadi kehilangan esensinya, makna dan misi sejatinya.
Sayangnya, Zen yang tanpa makna ini sekarang populer diajarkan, dipelajari dan dipraktekkan hampir di seluruh dunia. Teman kita tadi adalah korban dari mal-praktek dalam proses pengajaran dan pembelajaran Zen. Akibatnya, ia menjadi begitu keras – jenis kekerasan yang kaku. Ia seolah menjadi pembawa nilai-nilai “positif” namun dengan cara yang “negatif”, ini merupakan negatifitas yang sama sekali tak bermanfaat bagi peradaban kita saat ini

Rasa takut tak perlu diperangi, dilawan.

Ini hanya perlu dipahami.

Dengan secara tepat memahaminya, kamu seketika itu juga mengatasi/melampauinya. Tak ada upaya yang harus dilakukan. Tak ada energi yang harus diboroskan untuk memeranginya. Tak ada setitikpun ruang dan waktupun untuk memeranginya.

Ketakutan exist karena kelemahan kita, karena kita merasa tidak mampu menghadapi situasi hidup tertentu. Satu-satunya solusinya adalah Pemberdayaan-Diri. Berdayakan Dirimu Sendiri!

Saat kamu tak mampu membereskan pekerjaanmu, kamu terus takut ketemu bossmu. Bagaimana mengatasi/melampaui ketakuatan semacam ini? yakni dengan mengembangkan keahlian yang dibutuhkan, dengan meningkatkan kemampuanmu, dengan Memberdayakan Dirimu.

Ini sama sekali tak tepat, melenceng dari Zen, jika kemudian kamu menemui bosmu dengan muka tegang, menantangnya dan berkata,”Ok, itulah aku. Aku tak tak mampu melakukan lebih dari itu. Dan kemudian, kamu memberi label pada kegilaan semacam itu sebagai “kejantanan”.

Tapi, itulah yang seseorang lakukan setelah berguru dengan “pakar” Zen kita. Hasilnya : kehilangan pekerjaan.

Ketakutan hanya bisa diatasi dengan memahami sebab awalnya, dan membuat perubahan/koreksi yang sesuai. Ketakutan adalah akibat. Akibat dari ketidakmampuan, kelemahan, dan di atas segalanya ketololan kita. Untuk mengatasi rasa takut, sederhana saja, kita harus membuat diri kita berdaya, kuat, dan cerdas. Kamu tak akan pernah bisa mengatasi rasa takut dengan memerangi atau menolaknya. Menolak rasa takut berarti menolak perubahan itu sendiri.

Jadilah berani, tapi jangan memerangi rasa takut….

Mengatasinya dengan pemahaman yang tepat tentang sebabnya. Jika kau tak tahu apa sebabnya maka kamu tak akan pernah bisa mengatasinya. Kamu akan tetap penakut selamanya, tak peduli berapa keras dan tegangnya wajahmu. Sebaliknya, kekerasan semacam ini akan membuatmu semakin takut, karena kamu kehilangan keluwesanmu, kemampuanmu beradaptasi dan mengikuti irama kehidupan. Dan, Hidup menjadi tiada bermakna bagi para penakut.

Sebuah pesan untuk kawan kita, yang mengaku Pakar Zen, “Lebih baik kamu mengurusi dirimu sendiri. Tak perlu menasehati orang lain dan sok-sok menjadi jagoan/juru selamat, karena kamu hanya akan membahayakan mereka.”

Tidak ada komentar: